BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa
fenomena kehidupan saat ini sangat menarik untuk dicermati. Realita kehidupan
tak ubahnya sepertu dunia dalam rumah, semua tidak mengenal jarak dan waktu.
Apayang terjadi dibelahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh
penduduk belahan barat. Di dunia ini tidak ada lagi tersimpan, semuanya sudah
transparan. Fenomenan tersebut dikenal dengan fenomena gelobalisasi. Arti
globalisasi adalah menyebarluaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar
menyentuh semua lapisan.
Globalisasi mempunyai nilai positif
dan nilai negatif. Kita sebagai umat islam harus bisa membedakan nilai-nilai
tersebut agar tidak terjebak dalam jaringan-jaringan neginomi barat.
Orang-orang barat sangat banyak menggunakan istilah-istilah untuk menuduh
setiap fenomena kebangkitan islam, diantaranya fundalisme dan radikalisme.
Sebagai umat islam kita bersifat
terbuka kepada barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk
menilai sifat itu adalah : (1). kita adalah pemilik risalah islamiyah (global)
yang datang untuk seluruh manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kita
suci kita berbahasa Arab. Rasul kita seorang Arab, dan islam tumbuh di dunia
Timur (Arab), tetapi ini bukan berarti bahwa islam di tujukan hanya untuk
bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi.
Beberapa tahun sebelumnya, istilah
globalisasi sudah menggema di seluruh dinia. Kala itu seakan menjadi buah bibir
setiap insan yang berfikir dan membayangkan terwujudnya kehidupan global di era
sekarang ini. Kemajuan saints dan teknologi mencapai perkembangan yang sangat
pesar termasuk di negara kita indonesia. Kini pembangunan di negara kita telah mencapai
kemajuan yang sangat pesat, terlebih sejak begulirnya era reformasi hingga saat
sekarang ini.
Keadaan ini tidak lain adalah
disebabkan karena minimnya sumber daya manusia (SDM) dari umat islam.
Sesungguhnya kita sebagai umat islam memiliki kekayaan sumber daya manusia
cukup, tetapi di lain pihak kita masih miskin dengan sumber daya manusia,
bahkan sampai saat ini kita belum memiliki tenaga – tenaga yang profesional.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang, maka
dapat dirumuskan pada konsep makalah ini adalah:
a. Bagaimanakah
islam di era globalisasi?
b. Bagaimana
dampak globalisasi terhadap umat islam?
c. Bagaimana
sikap umat islam dalam menghadapi tantangan globalisasi?
BAB II
ISI
2.1 Islam dan Globalisasi
Islam adalah agama global dan
universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah beradaban islam yang sempurna
dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Didalamnya ada aspek
duniawi dan ukhrawi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang
utuh dan itegral. Universal atau globalisasi islam menyeru semua manusia, tanpa
memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya. Hal ini di
jelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an. “ Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi semesta Alam” (QS. At-Takwir : 27). Semenjak abad ke-7, Nabi
Muhammad SAW, sudah menerapkan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan,
misalnya ketika beliau mengirim utusan membawa surat-surat beliau kepada para
Raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan
pemimpin itu adalah raja Romawi dan kisra persia.
Dengan demikian ketika wafat maka
seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh
beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara tataran
konseptual dan tataran aktual dan ini merupakan salah satu keistimewaan Islam.
Globalisasi islam adalah proses
mengglobalisasikan nilai-nilai universal seperti toleransi, kebersamaan,
keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Islam sebagai agama samawi yang
turun dari Allah SWT dan bukan merupakan buah pikiran manusia semata, dengan
demikian aturan-aturan islam terperinci dengan jelas dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, agama islam semakin berkembang
seluruh penjuru dunia dengan cara perdagangan, perkawinan dan lain-lain.
Mellihat strategi yang dirancang Barat
dalam isu globalisasi sunggu amat busuk. Mereka mempunyai agenda terselubung
dalam mengikis habis ajaran islam yang di anut bangsa timur. Penyebaran itu mereka
lakukan melalui penyebaran informaso dengan sistem teknologi modern yang dapat
mengirim informasi keseluruh penjuru dunia.
Melalui jalur ini mereka menguasi
publik opini yang tidak jarang berisikan serangan, hinaan, pelecehan dan
hujatan terhadapa islam dan mengesankan agama islam sebagai teroris. Perang
yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata namun juga perang agama.
Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian islam lewat ideologi sekuler,
politik, ekonomo, sosial budaya, teknologi, komunikasi, keamanan dan
sebagainya. Secara perlahan-lahan tapi pasti mereka menggerogoti islam dari
dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan islam dari muka bumi.
Di Indonesia, globalisasi dan
liberalisasi makin jauh masuk utamanya melalui LOI (letter of intent) tahun
1998 yang di tandatangani bersama oleh Soehart, presiden Indonesia ketika itu,
dan Camdessus, mewakili IMF menyusul krisis moneter yang melanda indonesia.
Beberapa butir penting itu kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus,
begitu juga BMM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus
harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama dengan
liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU migas tahun 2001 yang
memuat pasal penghentian peran monopoli pertamina mulai tahun 2005, penghapusan
subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusaahan asing di dalam bisnis
migas di indonesia. Artinya, melalui IMF dan pada kompradornya didalam negeri
indonesia, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap
kekayaan Indonesia. Apa yang akan kita katakan bila itu bukan merupakan
penjajahan atau imperialisme ekonomi?
Proses globalisasi ini memiliki
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agam. Realitas ini
mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama.
Agama sebagai sebuah padangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai
memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para
pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui
pentingnya peran agam dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat dunia.
Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam peroses
globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen
penting yang cukup berpengaruh didalam berbagai proses globalisasi. Karena
begitu pentingnya peran agam dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya
kita memahami sejauh mana posisi agama didalam merespin berbagai persoalan
kemasyarakatan.[1]
2.2
Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam
Sebagai mana telah kita ketahui, era
globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidak teknologi komukasi, transportasi,
dan informasi yang demikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala
kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saau
itu juga, sementara jarak tembuh yang sedemikian jauh dapat dijangakau dalam
waktu yang singkat sehungga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang
kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa di
capai dalam waktu yang amat singkat.[2]
Dengan ada nya globalisasi ini telah
menimbulkan banyak sekali akibat yang sangat buruk dan tidak akan mungkin dapat
dilupakan oleh sejarah umat manusia. Mulai dari penghisapan kekayaan dan
negara-negara terjajah secara semen-mena hingga tewasnya jutaan manusia yang
tidak berdosa akibat ulah negara-negara kapitalis penjajah biadap, termasuk
tragedi kemanusiaan yang terjadi di Irak
saat ini akibat invasi brutal Amerika serikat pada bulan maret 2003.[3]
Pembangunan di negara kita juga telah
mencapai kemajuan yang demikian pesat terutama sejak bergulirnya era reformasi
hingga saat ini, karena seiring dengan itu marilah kita umat islam secara
bersama-sama ikut ambil bagian denga secara aktid, terutama dalam pembangungna
mental spritual, agar umat islam tidak sekedar maju dalam segi fisik saja,
namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang rusak.
Dalam abad teknologi modern sekarang
ini, manusia telah diruntuh kan eksistensinya sampai ketingkat mesin akibat
pengaruh globalisasi. Roh dan kemanusiaan manusia telah diremehkan begitu
rendah. Manusia adalah mesin yang dikendalikan oleh kepentingan finansial untuk
menuruti arus hidup yang materialistis dan sekuler. Globalisasi adalah
merupakan gerakan yang telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara Barat
sekuluer untuk secara sadar atau tidak akan menggiring kita pada kehancuran
peradaban.
Sebagaimana telah kita saksikan dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui media cetak dan
elektronik, mulai dari prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang
dipraktikan oleh orang-orang Barat akhir-akhir ini semakin menjurus pada
kemaksiatan. Apa yang mereka suguhkan sangat berpengaruh terhadap pola pikir
umat Islam.
Tidak sedikit dari orang-orang Islam
yang secara perlahan-lahan menjadi lupa akan tujuan hidupnya, yang senantiasa
untuk ibadag, berbalik menjadi malas ibadah dan lupa akan tuhan yang telah
memberikannya kehidupan. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia
khususnya umat islam yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukan sekedar
ada, namun ada tujuan mulia yaitu beribadah kepada Allah SWT. Di zaman sekarang
ini, tidak sedikit dari umat islam yang lemah iman, karena telah salah dalam
menyingkapi isu globalisasi, mereka seakan-akan kedatangan tamu istimewa, tamu
pujaan hati yang telah lama di agaung-agungkan. Sehingga di dalam bayangan
mereka, globalosaso adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari
modernisasi, pada hal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka
yang sengaja menjerat dan akan mejerumuskan umat Islam. Nasib Islam modern atau
globalisasi ini sangat ditentikan oleh sejauh mana kemampuan umat islam
merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah terjadi di era ini (Globalisasi).[4]
Umat manusia telah terbentuk
sebgaimana produk industru itu sendiri tidak ada ke unikan, yang ada hanyalah
kekacauan yang seragam sehingga secara sadar atau tidak sadar manusia
berangsur-angsur kehilangan asas kemerdekaannya, padahal itulah yang dijadikan
tumpuan bagi ilmu pengetahuna dan teknologi.[5]
Dengan adanya globalisasi ini membawa
dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan umat islam. Dampak
positif misalnya makin mudahnya memperoleh informasi dari luar sehingga dapat
membantu menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah
yang dihadapai. Misalnya, melalui internet kita dapat mengakses
informasi-informasi yang dibutuhkan di bidang ekonomi, perdagangan bebas antara
negara berarti makin terbukannya pasar dunia bagi produk-produk, baik berupa
barang atau jasa.
Dalam kaitan dengan umat islam di
Indonesia, dampak negatif yang paling nyata adalah terbentuknya nilai-nilai
asikng yang masuk lewat berbagai cara. Dengan nilai-nilai agama yang di anut
oleh sebgian besar bangsa kita, mengingat agama Islam adalah agama yang
berdasarkan hukum (syari’ah), maka pembenturan nilai itu akan sangat terasa di
bidang syari’ah ini.
Globalisasi informasi telah membuat
umat kita mengetahui praktik hukum (terutama hukum keluarga) di negara lain,
terutama di negara maju yang sebagian sama dan sebagian lg berbeda dari hukum
islam.
2.3
Sikap Ummat Islam Dalam Mengahadapi Tantangan Globalisasi
Mengahadapai era Globalosasi, sikap
kaum muslim bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam yaitu ;
1.
Mengikuti secara mutlak, mereka meyakini
bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi
adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk di tiru. Sikap seperti ini lang
menenggelamkan umat islam dari peredaran nya.
2.
Mereka yang menolak secara keseluruhan.
Golongan ini lah yang diistilahkan oleh Prof. Dr Yusuf Qaedawi sebagai kelompok
“penakut” mereka takut untuk berhahadapan secara langsung dengan peradaban
Barat. Hal ini di nilai tidak “Fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang
ada. Mareka menutup pintu rapa-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena
takut terkena bebu dan polusi peradaban sejatinya mereka membutuhkan udara.
3.
Golongan moderat (berada di
tengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminann sikap ideal seorang
muslim. Mereka sadara bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar
hanya lah usaha yang sia-sia belaka dan tidak berguna. mereka meyakini bahwa
islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman.
Pertanyaan yang selanjutnya yang
mengemukakan adalah tentang masa depan umat Islam, setidak nya ada dua prediksi
yaitu ;
1.
Pesismistik, sikap ini muncul karena
melaht realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang. Dimna untuk ukuran
perkembanga saints dan teknologi umat islam bedara dalam posisi yang paling
bawah. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya
kesenjangan sosial, keterbelakangan HAM telah begitu memprihatinkan
2.
Optimisme, sikap ini didasari pada
pengamatan sejara, dimana kita meengukir kejayaan dimasa lampau, dengan sikap
ini, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan
bergantian diantara manusia
Sebagai umat Islam, kita berkewajiban
untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama islam,Ada beberapa alternatif :
1.
Mengembalikan keadaan umat islam yang
selama ini “tertidur”
2.
Bersikap inklusif terhadap budaya luar,
karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran
islam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
3.
Berpegang teguh pada ajaran Islam
sebagai sumber inspirasi peradaban dan yang terpenting adalah merealisasikan
nya dam kehidupan sehari-hari.
Globalisasi bagi umat islam tidak
perlu diributkan, di terima atau di tolak, namun yang paling penting dari semua
adalah seberapa pesat peranan islam dalam menata semua umat manusia menuju
tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradap. Bagi kita semua, ada atau tudak
nya istilah globalisasi tidak menjadi masalah yang penting ajaran islam sudah
benar-benar di terima secara global, secara manusiawi oleh segenap umat
manusia, di terapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga,
bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagai umat islam hendaknya menilai
modern jangan kita umur dari modernnya, pakaiannya, perhiasa dan penampilan namun
modern bagi umat islam adalah modern dari segi pemikiran, tingkah laku,
pergaulan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, politik dan
ekonomi.
2.4
Berbagai Paradigma Islam Dalam Menghadapai Globalisasi
Pada mulanya agama-agama muncul dari
unseur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang di
dominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk plural sesuai
dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak
secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi
sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era ini
kini telah mengalami perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam
kategori.
Namun, secara general kualifikasinya
hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekrang ada dalam umat islam.
Persepktif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan islam yang
berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syari’ah dan akhlak.
Dalam perkembangan nya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan dikalangan
umatnya.[6]
Sejalan
dengan perubahan tersebut, dapat di kemukankan bahwa pada saat ini ada dua
paradigma fundamental yang berkembang dikalangan umat islam dalam menghadapi
globalisasi yaitu :
1.
Paradigma Konservatif
Paradigma pertama ini adalah paradigma
yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan islam sebagai agama yang
memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan
dengan wacana keilmuan selain islam. Unsur-unsur sosial seial islam dalam hal
ini dianggap sebagai yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi
teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam
kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap
representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan
solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang
berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Demikian pula dengna bidang syariat
yang menjadi pusat kajian hukumnya.aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab
tersebut sudah menjadi final untuk menjadikan acuan hukunnya. Alasannya, hukum
tersebut murni bersumber dari Al-Quran dan hadist. Oleh karenanya, tidak ada
yang perlu di sempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai
kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang
mendalam. Dalam kategori sosiologis islam seperti di atas, menuurt Ali Syariati
(1933-1977), islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan
kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan sesuatu semangat kolektif seuatu
kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual,
tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik generasi. Kebiasaan inilah
yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan.
Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agam maka
paradigma ini sering pula di sebut paradigma konservatif.
Bagi orang-orang islam berpaham
konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchaningness) merupakan suatu hal yang
ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikai
manusia dan lingkungan nya. “ketidak berubahan” merupakan asumsi pengaruh yang
mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.
Doktrin “ketidakberubahan”, baik
sebagai fakta maupun sebagai cita-cita berangkali bermula dari pengalaman
kehidupan nomadik bengsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa
keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad
Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang
semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap
sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada
dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan
apa-apa yang telah di lakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu
membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentukan dan tidak
teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat
rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang
terjadi pada dirinya.[7]
Corak berfikir seperti itu
mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat.
Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi islam, kata yang lazin di
pakai untuk hal baru adalah “bid’ah”. Berlandaskan corak pemikiran tersebut
akhirnya kelompok konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang
sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai islam.
Bentuk pemahaman konservatif ini dapat
di lihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam pemahaman hubungan agama
dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa islam bukanlah semata-mata
agamaa dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia
dan Tuhan, sebaliknya islam adalah satu agam yang sempurna dan yang lengkap
dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam
adalah suatu Agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain
sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh kerenanya dalam bernegara umat islam
hendaknyak kembali kepada sistem ketatanegaraan islam, dan tidak perlu atau
bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2) sistem ketatanegaraan
atau politik islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan
oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-khulafa al-Rasyidin.
Melihat pemahaman tersebut dapat kita
mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas
cenderung memposisikan islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin
dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana
keilmuan selain Islam.
2.
Paradigma Liberal
Paradigma kedua adalah paradigma yang
bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai
agama yang berperan sebagai agen perubahann sosial. Unsur-unsur sosial selain
Islam dalam hal ini menjadi suatu komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting
di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi
umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rassionalisme.
Teologi bukan semata menjadi objek kajian begaimana menyakinkan umat secara
dokteriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu,
teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi
bagian transformasi sosial yang harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap
pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat di
peroleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum
konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru
menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang
membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekan
pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang mengabaikan
tetstualialis dan latar belkang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga
mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir terhadapa al-Qur’an dan
hadist. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering
diistilahkan dengan paradigma liberal.
Berbagai penjelasan di atas dengan
jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial
selain islam merumuskan berbagai solusi terhadapa persoalan kekinian yang
dihadapi umat.
3.
Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu
paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma
alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas.
Sebab dengan mengkompromikan dua
pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani ada nya titik temu
sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam islam,
meski memang untuk megajawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan
mudah. Paradigma alternatif yang di tawarkan adalah paradigma moderat yakni
paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang
antagonistik dalam melihat hubungan islam dan persoalan kemasyarakatan. Serta
berusaha mengakomodasi di lakukan nya pembaharuan wacana sesuai dengan
diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan
keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini
selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek
keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam
menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian
begaimana meyakinkan umat secara dokterinenr, tetapi juga sebagai pembimbing
tindakan praksis sosial. Selain itu, teologis juga harus lepas dari paradigma
kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi soal yang terus
menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbda dengan teologi kaum konservatif
yang gigih membela tuhan dan kaum loberal yang terlalu humanis, paradigma ini
selain berusaha memelihara nilai-nilai ketahuhidan yang bersifat formalistik
tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran
yang membebaskan umat dari penindasan struktural dan kultural. Dalam arti nilai
tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat,
paradigma ini selain mengambil hukum-hukum islam dari aspek nilai/substansi
tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab islam laa yang di
mapankan oleh kalangan konservatif. Al-Qur’an dan Hadist memang harus
ditafsirkan ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam
pertimbangan praksis sosialnya.
Karena paradigma ini berusaha
mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih
cenderung kami istilahkan dengna paradigma moderat. Karena istilah moderat
cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan
yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengna konsep islam sebgai
agama wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan islam dan negara paradigma.
Moderat menolak pendapat bahwa islam adalah agama yg serba lengkat dan bahwa
dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seprangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Paradigma ini tidak hanya menonjolkan
isu seputar konsep “negara islam” dan “pemberlakuan syariat”, tetapi yang
paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Di
sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan
keadaban islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta, dan sayang harus
menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna
meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang
digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan muslim.
Hanya, yang menjadi tantangan
paradigma moderat di masa datang adalah situasi mengglobal yang kian tidak
menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi
kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional
yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya
pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan
turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma
moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan
yang di milikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat “ruang publik”
yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu
kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi
keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal
yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.
Namun untuk merealisasikan bentuk
paradigma tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah
berkembang di indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak
upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari
sepenuhnya, bahwa agama islam telah lengkap dan komprehensif. Namun,
“kesempurnaan” islam hanya lah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran
praksisnya, terutama ketika era globalisasi bergerak, islam belumlah cukup
memeliki kosepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni
kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam yang
di hadapi oleh umat islam saat ini.
2.5
Gerakan Fundamentalisme dan Radikalisme
Fundamentalisme islam adalah fenomena
baru dalam sejarah Agama Islam. Fundamentalisme Islam muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap imperialisme dan hegemono Barat perlu diluruskan. Sebab
kesimpulan semacam ini seakan memberikan angin segar bagi ketertindasan. Dan
bangkitnya gerakan-gerkan radikal sebagai bentuk kelompok Islam lebih sebagai
bentuk perlawanan terhadap ketertindasan yang mereka alami. Oleh karena itu,
fundamentalisme adalah bentuk gerakan pembebasan, hal ini perlu dilakukan untuk
menghilangkan kesan negatif yang merusak citra Islam itu sendiri.
Maraknya Terorisme dan Radikalisme
yang berasal dari Fundamentalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas
memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua umat manusia. Lalu
dibuatlah sebuah teori, bahwa fundamentalisme Islam tidak ada hubungannya
dengan Islam itu sendiri; Fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang
muncul pada abad 19 atau 18, fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap
tatanan kehidupan yang lebih global saat ini.
Jika kita melihat serangkaian aksi
terror bomb yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, maka
sepertinya target utama yang menjadi incaran sudah nampak jelas. Dari bom yang
terjadi di Bali, Hotel JW Mariot, kedubes Australia, JW Mariot dan Ritz Carlton
sampai merebaknya aksi terror di Aceh, menunjukkan sesuatu tadensi antuk menjatuhkan
korban dari pihak asing serta menganggu konsep yang dimiliki oleh sekelompok
fundamentalis yang kebanyakan menghendaki adanya sebuah Negara dengan sebuah
konsep pemerintahan yang berdasarkan kepada kedaulatan Tuhan.
Dari keagamaan yang berkembang pesat
saat ini, kaum fundamentalis memang terkesan konservatif dan selalu dengan masa
lampau, meskipun ide-ide mereka sebenarnya adalah sangat modern dan inovatif.
Bila kita mengacu pada terjemahan harfi’ah dari “Fundamentalisme” kedalam
bahasa Arab, maka artinya ushulliyyah,
sebagai sebuah kata yang merujuk pada sumber-sumber sebagai aturan dan prinsip
dalam hukum Islam.
Jika kemudian kita mengaitkan kembali
relasi antara agama dan terorisme, mungkin tidak juga seratus persen salah. Hal
ini disebabkan masih adanya kelompok
fundamentalis yang sejatinya merupakan sekelompok religius yang masih
cenderung melakukan pemberontakan.
Gerakan Radikalisme mulai marak dan
bertebaran di wilayah Indonesia. Yang menjadi inti dari pembahasan adalah
faktor apa yang mendorong mereka bersemangant dalam “membela Tuhan”, yang kalau
di teliti lebih dalam sebenarnya gerakan mereka belum tentu benar menurut
perspektif masyarakat Islam mayoritas. Dan juga hal apa yang ingin menjadi
tujuan dari gerakan mereka.
Istilah Radikalisme berasal dari
bahasa latin radix, yang artinya
akar, pangkal dan bagian bawah, atau bias juga secara menyeluruh, habis-habisan
dan amat keras untuk menuntut perubahan. Sedangkan secara terminologi
Radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik,
paham atau aliran yang menuntut perubahan social dan politik dalam suatu negara
secara keras.
Perkembangan Islam di Indonesia pasca
disebarkan oleh para wali ke depan nya mengalami kemunduran dalam hal hidup
berdampingan dengna penuh kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya proses Islamisasi secara damai itu karena
kepiawaian para mubaligh-nya dalam memilih media dakwah, sepertu pendekatan
secara sosial budaya, tata niaga (ekonomi), serta politik.
Selain menggunakan media tradisi dan
budaya, para pembawa panji Islam itu juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk
mengembangkan nilai-nilai serta ajaran Islam. Namun seiring berjalannya waktu,
dalam konteks ke Indonesia dakwah dan perkembangan islam mengalami kemunduran
dan penuh dengan penodaan. Gejala kekerasan melalui gerakan Radikalisme mulai
bermunculan. Terlebih setelah kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut
Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ketanah air telah mengubah
konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras tidak
mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab atau Wahabi , gerakan yang saat ini menjadi ideologi resmi
pemerintahan Arab Saudi.
Kemudia dalam cacatan sejarah
Radikalisme Islam semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga reformasi
sejak kartosuwijoro memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Salam (DI).
Sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan Agama, justifikasi Agama dan
sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi
kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja
bedanya, gerakan Radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh
militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula
Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII. Sebagian direkrut kemudian di suruh
melakukan berbagai aksi seperti komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan
Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung menfalitasi beberapa kelompok Radikal
ini untuk muncul lebih visible, lebih militant, dan lebih vocal, di tambah lagi
dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.
Setelah DI, muncul komando Jihad (
KOMJI) pada tahun 1976 kemudian meledakan tempat ibadah. Pada tahun 1977, Front
pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan terror oleh pola
perjuangan revolusioner Islam 1978. Setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan
beraroma radikal yang di pimpin oleh Azhari dan Nurdin M.Top dan
gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebaran. Dalam konteks internasional,
realistas pelitik standard ganda Amerika Serikat dan sekutunya merupakan pemicu
perkembangan radikalisme Islam. Perkembangan ini semakin menguat setelah
terjadi tragedi WTC pada 11 september 2001.
Realitas politik domestik maupun
Internasional yang demikian dirasa telah menyudutkan Islam. Dimana hal ini
telah mendorong kalangan Islam fundamentalisme untuk beraksi keras dengan
menampilakn diri sebagai gerakan radikal, yang diantaranya menampilkan
simbol-simbol anti-AS dan sekutunya. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian
muslim memberikan reaksi yang kurang proposional. Mereka bersikukuh dengan
nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifat nya anarkis, sikap
sebagian muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan radikal.
Kemunculan gerakan radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami
sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia.
Istilah Radikalisme sebenarnya bukan
merupakan konsep yang asing. Secara umum ada kecenderungan yang menjadi
indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi
yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan kondisi yang di tolak. Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan
tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam
radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalisme
berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang
ada. Sesuai dengan kata radix, sikap radikal menandai keinginan untuk mengubah
keadaan secara mendasar. Ketiga, menguatkan keyakinan kaum radikalisme akan
kebenaran program atau ideologi yang membawa mereka.
Radikalisme keagamaan sebenarnya
fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan
erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada
dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam ideologi yang menjadikan
agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya
fundamentalisme akan di iringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan
untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang
mengelilingi masyarakat. Fundamentalisme secara serampangan di pahami bagian
substansi ajaran islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan.
Memahami islam merupakan aktifitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah,
sosial dan politik. Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme
islam. Tarikan politik dan sosial telah menciptakan kekerasan atau radikalisme.
Radikalisme lahir dari persaingan sosial dan politik.
Masalah radikalisme islam telah makin
membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Gerakan fundamentalisme yang
muncul sebagian besar adalah berangkat dari ketidakpuasan dan adanya keinginan
untuk menjadikan atau menerapkan syariat islam di indonesia. Terjadinya
ketidakadilan, banyaknya korupsi, krisis yang berkepanjangan dan ketidak
harmonisan antara kaya dan miskin.
Banyaknya gerakan-gerakan Radikalisme
keagamaan yang akhir-akhir ini muncul karena ada nya beberapa faktor :
· Variabel
norma dan ajaran
· Variabel
sikap atau pengalaman mengenai tiga isu penerapan syariat islam, bentuk negara
islam Indonesia dan khalifah islamiyah
· Variabel
sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapakan dengan kondisi sosial nyata
dalam masyarakat
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan
adanya Era Globalisasi ini kita umat islam terutama harus bisa menghadapai dan
memperkuat iman dan takwa. Kita harus menghadapi perubahan zaman yang telah
kita jalani sekarang ini. Zaman modern serba mesin yang mungkin memanjakan kita
dalam setiap pekerjaan dan langkah kita.
Menurut kami kita sebagai generasi umat islam
tidak boleh lengah dalam menghadapi masalah modernisasi dan globalisasi, mari
kita bentengi diri kita dengan keimanan dan ketakwaan serta akhlatul karimah
yang di sertai dengan sumber daya yang kuat, terampil dan di dukung dengan
semangaat persatuan dan kebersamaan. Insyaallah kita akan di beri kekuaatan dan
kemenangan oleh Allah SWT dalam membela dan mempertahankan kejayaan agama yang
suci.
Kita
sadari bahwa globalisasi adalah tren sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi
dan kita alami. Kita tidak mempunyai kekuatan untuk menolak apalagi lari dari
kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis
bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali sejati
diri.
DAFTAR PUSTAKA
Ak-Qardhawi,
Yusuf islam dan Globalisasi dunia, 2001. Jakarta
http://faizmanshur.wordpress.com/2003/03/03/paradigma
-islam-menghadapai-globalisasi.
Dadang,
Kahmud, Sosiologi Agama, 2006, Bandung,
: PT. Remaja Rosadakarya
http://
baradikal.Multiply.com/journal/item/3
Effendi,
Bachtiar. Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep
Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.
Nasution,
Harun, Islam di tinjau dari berbagai Aspek
Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet V,1985
Watt,
William Montogomory. Fundamentalist dan Modernitas dalam islam, terj. Dari buku
Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet I, 2003
[1]
Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan tantangan Globalisasi : mempertimbangkan
konsep Deprivatisasi Agama, makalah tidak di terbitkan,hal 5
[2] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, jakarta
:pustaka Al-Kautsar, hal.21-23
[3] Suparman dan Sobirin Malian, ide-ide besar sejarah
intelektual Amerika, Yogyakarta : UII Press, 2003,hal X.
[4] Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT.
Remaja Rosadakarya, hal.304
[5] Ibid, hal. 96
[6]
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet V, 1985, hal. 11-14
[7] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas
dalam Islam, terj. Dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta :
CV. Pustaka setia, Cet.1,2003, hal, 11-15