Rabu, 27 Maret 2013

SUMBER-SUMBER ILMU DALAM ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori – Teori Serta Konsep Sumber Ilmu Menurut Kajian Filosof Barat
Kejian sumber ilmu menurut filosof Barat diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan fenomenalisme Kant. Dan dirinci sebagai berikut :
1.      Rasionalisme
Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descrates (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasonal. Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa, dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal itu, kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descraters berpandangan konsepsi-konsepsi ini adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semua itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta dua belas kategori Kant.
Menurut Mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Disamping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dan akal.
Menurut Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut :
Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus di gali secara esensial dari lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosifis bagi perumusan teori rasional ini akan hilang sama sekali, jika kita dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu mengandaikan gagasan—gagasan fitri.
Menurut Descartes, untuk mencapai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar jika secara metodologis dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah-Shard).
Sesuatu yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly). Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan dari apa yang berada diluar kita. Sebagai ilustrasi, Harun Hadiwijono menjelaskan berikut :
Coba perhatikan lilin dan sarang madu. Jikalau kita mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita merasakan madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya, jari kita merasa keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi jika sarang madu itu kita letakkan diatas suatu wadah yang berada diatas api, sifat nya akan berubah, sekalipun lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemahm mudah lentur, dan lain sebagainya. Jadi yang tampak, yang kita amati bukanlah lilin itu sendiri. Adanya lilin itu kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Maka benda yang disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati. Sebab benda itu dengan cara yang sama tercakup dalam segala penampakannya. Pengetahuan kita tentang lilin itu bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat didalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan binatang.
Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan bukan khayalan. Melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berfikir, dan oleh karena aku berfikir maka aku ada. Memang menurut Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, akan tetapi bahwa kegiatan berfikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berfikir, dan oleh karena itu didalam hal berfikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.

2.      Empirisme
Istilah empirik berasal dari kata Yunani empirian, yang berarti pengalaman inderawi, kaum empiris memberikan tekanan kepada emperik (pengalaman) baik pengalaman lahiriah maupun batiniah seabgai sumber pengetahuan. dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).
Teori ini berberpendapat bahwa penginderalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia menginderai sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esesnsial dalam bentuk yang berdiri sendiri.
Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-kosepsi dan membagi-baginya. Shard mengatakan :
Dengan begitu, ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagain-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentu itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal.
Thomas Hobbes, orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara makanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam filsafat modern.
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung kerena keharusan. Realitas segara yang besifat bendawi terliput didalam gerak itu. Segala obyektifitas didalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keberadaan sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang berada itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.
Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara makanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaa, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.
Seperti disinggung diatas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan didalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.

3.      Fenomenalisme Kant
Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme? Berikut penjelasannya.
Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan pernyataan: “Kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, “Setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut; dan bila kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”
Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit.
Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan penyakit tersebut.  Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya.
Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit?
Indera hanya dapat memberikan data indera. Data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya  “rasa menekan yang bersahaja” dengan “bunyi yang kasar” untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian; hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.







B.     Pendapat Para Filsuf Muslim
Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti kemudia kajian berlanjut di Barat hingga kini dan setelah itu baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian.
Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi duaa yaitu ‘ilm ilahiy (devine science) dan ‘ilm insaniy (human science). ‘ilm ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason). Abu Hamid al-Ghazali (1111M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal. Ia membagi ilmu kepada religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aliyah). Al-Ghazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadikan) dan hushuli (yang dicapai). Dari pembagian ini, nampak jelas bahwa al-Ghazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Ghazali menggunakan indera, akan dan Qalb.
Mahdi Ghulsyani menyebukan, secara hakiki Al-Qur’an lah sebagai sumber ilmu. Ia mengatakan :
Prinsip ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan. Bukanlah diluar Al-Qur’an, karena seluruh ilmu ini diraih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah kami sebutkan bahwa Al-Qur’an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa kiranya lautan itu tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Diantara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebit) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan “ketika aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan aku..” perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan tentang seluruh aspek penyakit sekaligus gejalanya, juga pengetahuan penyembuhan dan cara-caranya. Diantara perbuatan Allah (juga) adalah penentuan pengetahuan (manusia) tentang matahari, bulan, dan pengetahuan tentang tingkatan-tingkatannya yang sesuai dengan waktu peredarannya, sebagai mana Allah SWT berfirman “Matahari dan bulan itu berjalan sesuai dengan peredarannya yang pasti, dan Dia atur perjalanan bulan itu sehingga kamu dapat belajar bagaimana cara menghitung tahun dan menentukan waktu...


C.    Pendekatan Utama Khazanah Pemikiran Islam Terhadap Epistemologi (Sumber Ilmu)
Setelah mendalami perkembangan pemikiran Islam, Al-Jabiri kemudian memperkenalkan tiga pendekatan utama dalam khazanah pemikiran islam yang dinamai sebagai analisis kritis terhadap epistimologi, pendekatan tersebut adalah bayani diwakili oleh fuqaha, burhani diwakili oleh filosof dan irfani diwakili oleh kaum sufisme.
1.      Bayani
Bayani merupakan metode pemikiran yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah jadi dan langusng mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meskin demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks.
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur’an dan al-Hadist. Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, bepegang pada redaksi (lafadz) teks, dengan menggunakan bahasa Arab dan yang kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.
2.      Burhani
Burhani merupakan sumber pengetahuan rasional argumentatif adalah epistemologi yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Dalam epistemologi burhani tercakup metoda yang berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas dan metode yang berusaha mendekati dan memahami realitas obyektif atau konteks berdasarkan filosofi. Realitas tersebut meliputi alam, realitas sejarah, realitas sosial dan realitas budaya. Model epistemologi inilah yang pada akhirnya melahirkan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.
Munculnya pemikiran kritis dikalangan ilmuan Muslim melahirkan konsep yang disebut filsafat Islam, istilah ini menjadi demikian polemik diantara sesama muslim dan ilmuan orientalis barat. Banyak perdebatan penting dan krusial menyangkut makna dan nilai penting filsafat islam bagi peradaban Islam sendiri. Tenneman dan E.Renan misalnya bersikap sekeptis terhadap kemandirian filsafat Islam. Para oreientalis juga menuduh bahwa filsafat Islam itu tidak lain filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab. Dengan lain kata Filsafat Islam tidak lain adalah filsafat Yunani yang diIsalamkan.
Materi yang dibicarakan dalam filsafat Islam memang diantaranya sama dengan materi yang dibahas dalam filsafat Yunani. Selain itu, juga harus diakui bahwa perkenalan filosuf muslim dengan filsafat adalah melalui buku-buku yang berasal dari Yunani. Seperti Al-Kindi (801-865 M) yang tercatat sebagai penterjemah terbaik dari buku-buku filsafat Yunani. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa filosuf Muslim mengekor begitu saja filsafat-filsafat Yunani. Jika diteliti lebih jauh, para filosuf muslim telah berhasil menelurkan pemikiran yang original yang murni hasil dari olah pikir mereka sebagai akibat bergesekkan dengan Islam. Hal ini bisa diamati dari pikiran-pikiran filosuf muslim pertama, Al-Kindi. Selama hidupnya Al-Kindi mendedikasikan hidupnya untuk meyakinkan kepada kaum Fiqh bahwa filsafat itu tidaklah bertentangan dengan Islam.
Menurutnya, Agama yang bersumber dari wahyu ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya didasarkan pada pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya ialah “kebenaran”. Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran. Namun demkian kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang berakal. Oleh sebab itu kebenaran agama harus digali agar lebih jelas. Penggaliannya ini dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat. Jadi antara agama dan filsafat tidaklah bertentangan.
Bagi Al-Kindi kebenaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan lebih meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun ia juga harus memakai filsafat untuk lebih memperjelasnya. Tetapi pekerjaan membuka selubung tentang yang telah ada.
Dengan kata lain, untuk mencari kebenaran melalui filsafat, maka akallah yang menjadi alat pencariannya, dan kebenaran yang dibawa oleh agama, akal jua yang berfungsi untuk membuka tabirnya, dengan demikian akal amat berfungsi dalam filsadat dan juga dalam agama.
3.      Irfani
epistemologi Bayanni adalah metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas keagamaan. Epistemologi ini menekankan akan pengalaman baniniyah, qolbu atau intuisi. Jalan yang ditempuh lebih menitik beratkan pada hubungan antara subyek adan obyek secara direct experience. Sehingga subyek dan obyek bisa menyatu dalam diri subyek. Obyek hadir dalam diri subyek  (al ‘ilmu huduri).
Pengalaman ini bisa disaksikan pada al-Ghazali (1058-1111 M). Menurut al-Ghazali kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya, tak terdapat sedikitpun keraguan didalamnya. Seperti bahwa sepuluh itu lebih besar daripada tiga. Al-Ghazali tidak mempercayai pengetahuan yang bersumber dari indrawi (empirisme) sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat berubah-ubah dan tidak tetap. Al-Ghazali juga tidak menaruhkan harapan dengan kredibilitas akal (Rasionalisme) sebab jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan oran yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu tetapi begitu ia bangun ternyata itu tidak sesungguhnya. Al-Ghazali kemudian terus mengembara mencari sumber pengetahuan yang benar. Sampai kemudian dia menemukan metode kasyf yaitu terbukalah pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian. Metode ini menempuh langkah dengan jalan mengosongkan sama sekali selain Allah, kemudian menenggelamkan diri dengan dzikir dan akhirnya fana dan ittihad.
Suhrawardi (1154-1191 M) juga demikian. Suhrawardi menrupakan pemeluk pengetahuan iluminasi adalah pengalaman visioner yang dirasakan subyek pada tingkatan ketiga setelah cahaya ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbataskan. Hal ini diungkapkan dengan perkataan “mengetahuo sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya”.
Untuk memperoleh pengalaman visioner ini filosof harus melewati tahapan-tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan :
Pertama, tahap persiapan untuk menapaki dimensi-dimensi iluminatif. Tahapan persiapan ini berisi meninggalkan dunia, uzlah, puasa, dzikir dan praktek-praktek asketik lainnya. Kedua, tahapan pencerahan yaitu merasuknya cahaya ilahi ke dalam wujud manusia. Dalam proses ini cahaya ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi dasar pembangunan ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara kehadiran. Ketiga, tahapan konstruksi (perolehan) yaitu suatu pencapaian ilmu yang benar dan tak terbatas. Dalam tahapan ini subyek telah dikatakan sebagai filosof iluminasi yang mencapai tingkat “melihat” cahaya ilahi.

Tanggapan, ketiga pendekatan dalam pemikiran islam tersebut telah terbukti mampu membesarkan berbagai disiplin keilmuan. Pendekatan bayani memngembangkan ilmu fiqh dan teolog. Pendekatan irfani telah menghasilkan konsep-konsep penting dalam tasawuf. Dan pendekatan burhani telah meletakan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.
Namun demikian, harus diakui bahwa masing-masing dari ketiga epistemologi diatas memiliki kelemahan-kelemahan. Pada epistemologi bayani akan mengalami kesulitan ketika dia berhadapan dengan teks, masyarakat, komunitas dan budaya yang berbeda. Kesulitan ini terletak pada kuatnya otoritas teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal saja tanpa adanya pengolahan lebih lanjut oleh rasio. Sementara bagi komunitas lain teks yang disuguhkan belum tentu ia terima. Sehingga yang terjadi adalah sikap dan mental dogmatis, defensif dan apologetik akan segera bersarang.
Kelemahan epistemologi irfani adalah bahwa istilah-istilah intelektualnya seperti ilham, kasyf dan sejenisnya telah terlanjur terbakukan dan terinstutusionalkan dalam terekat-terakat yang mandiri dengan wirid-wirid tertentu yang menyertainya. Pola epistem ini akan melahirkan pribadi yang inklusif dan tertutup dengan dunia luar.
Sementara pendekatan burhani kelemahannya terletak pada kenyataan bahwa meskipun ia rasional tetapi masih lebih didasarkan atas model pemikiran induktif-deduktif. Sehingga terjadi kemiskinan roh dalam pengetahuan. Tentu hal ini sangat tidak memadai dalam pemikiran kontemporer.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemikiran barat dan pemikiran Islam mengandung unsur polemik yang berkelanjutan namun pemikiran tersebut dapat kita aplikasikan dalam mendapatkan ilmu baru serta melanjutkan kajian didalam filsfat modern karena harus diakui ada kebenaran yang terkandung didalamnya namun ada juga titik kelemahan pada masing-masing pemikiran dari tokoh-tokoh filsuf tersebut.
Didalam konsepsi filsafat barat dikonsepkan bahwa ilmu dapat diperoleh melalui Rasionalisme, Empiris, dan fenomena bisa kita cerna bahwa itu adalah benar dan masing-masing juga memiliki titik kelemahan dari teori itu sendiri, sedangkan didalam Islam pemilik Ilmu adalah Tuhan yang maha Esa yakni Allah SWT dan sesungguhnya sangat banyak yang tidak kita ketahui dan Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang berarti ilmu yang kita pelajari hanyalah sedikit dari ilmu yang telah dia ciptakan namun dapat kita dituntut untuk mempelajari setiap ilmu yang ada disemesta alam yang dapat diperoleh dengan pemikiran-pemikiran yang mendalam dan menggunakan pendekatan menurut filsuf Islam dengan analisis kritis terhadap epistemologi.


DAFTAR PUSTAKA

·         www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar