BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
– Teori Serta Konsep Sumber Ilmu Menurut Kajian Filosof Barat
Kejian
sumber ilmu menurut filosof Barat diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu
rasionalisme, empirisme, dan fenomenalisme Kant. Dan dirinci sebagai berikut :
1. Rasionalisme
Mazhab
ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descrates (1596-1650) dan
Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasonal.
Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa, dan suara
karena penginderaan terhadap hal-hal itu, kedua, adalah fitrah, dalam arti
bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang
tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah. Dalam
pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari
dirinya sendiri. Rene Descraters berpandangan konsepsi-konsepsi ini adalah ide
“Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan
semua itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua
pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta dua
belas kategori Kant.
Menurut
Mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan
gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber.
Disamping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dan
akal.
Menurut
Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam
menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut :
Mereka
tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera
karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus di gali secara
esensial dari lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosifis bagi
perumusan teori rasional ini akan hilang sama sekali, jika kita dapat
menjelaskan secara meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu
mengandaikan gagasan—gagasan fitri.
Menurut
Descartes, untuk mencapai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya
mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti
jejak ilmu pasti. Meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya.
Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode
ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan
gagasan baru bernilai benar jika secara metodologis dikembangkan dari intuisi
yang murni (fitrah-Shard).
Sesuatu
yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and
distinctly). Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan
dari apa yang berada diluar kita. Sebagai ilustrasi, Harun Hadiwijono
menjelaskan berikut :
Coba
perhatikan lilin dan sarang madu. Jikalau kita mengamati sebuah sarang madu ada
beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita merasakan madunya, hidung
kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya, jari kita
merasa keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi jika sarang madu itu kita letakkan
diatas suatu wadah yang berada diatas api, sifat nya akan berubah, sekalipun
lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemahm mudah lentur,
dan lain sebagainya. Jadi yang tampak, yang kita amati bukanlah lilin itu
sendiri. Adanya lilin itu kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Maka benda
yang disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati. Sebab benda itu dengan
cara yang sama tercakup dalam segala penampakannya. Pengetahuan kita tentang
lilin itu bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau
khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. Apa yang kita duga kita lihat
dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa
penilaian kita, yang terdapat didalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui
indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan binatang.
Menurut
Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat
pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala
sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu
bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan
segala sesuatu). Sifat meragukan bukan khayalan. Melainkan suatu kenyataan. Aku
ragu-ragu, atau aku berfikir, dan oleh karena aku berfikir maka aku ada. Memang
menurut Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan,
akan tetapi bahwa kegiatan berfikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada
seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berfikir, dan oleh karena itu
didalam hal berfikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.
2. Empirisme
Istilah empirik
berasal dari kata Yunani empirian, yang
berarti pengalaman inderawi, kaum empiris memberikan tekanan kepada emperik
(pengalaman) baik pengalaman lahiriah maupun batiniah seabgai sumber
pengetahuan. dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di
antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).
Teori ini
berberpendapat bahwa penginderalah satu-satunya yang membekali akal manusia
dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi adalah
potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia
menginderai sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni
menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan
yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat
diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara
esesnsial dalam bentuk yang berdiri sendiri.
Akal budi
berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan
inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-kosepsi dan
membagi-baginya. Shard mengatakan :
Dengan begitu,
ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada
potongan-potongan dan bagain-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi,
misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan
bentu itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk
suatu gagasan universal.
Thomas Hobbes,
orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah
membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara
makanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang
materialis pertama dalam filsafat modern.
Menurut Hobbes,
segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang
tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian
adalah gerak, yang berlangsung kerena keharusan. Realitas segara yang besifat
bendawi terliput didalam gerak itu. Segala obyektifitas didalam dunia luar
bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau
keluasan tidak memiliki eksistensi atau keberadaan sendiri. Ruang justru gagasan
tentang hal yang berada itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.
Konsistensi
gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang
manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan
sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara makanis. Jiwa itu sendiri
menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal
bukanlah pembawaa, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.
Seperti
disinggung diatas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya
memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan
suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan
pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda
menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki
gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan
membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau
totalitas segala pengamatan yang disimpan didalam ingatan dan digabungkan
dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada
masa lampau.
3. Fenomenalisme Kant
Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan
pendekatan kembali terhadap masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber
pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David
Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa
pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme? Berikut penjelasannya.
Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami.
Marilah kita memperhatikan pernyataan: “Kuman tipus dapat menyebabkan demam
tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai
hubungan sebab-akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, “Setelah
diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam
tipus, tentu terdapat kuman tersebut; dan bila kuman ini tidak terdapat di
dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”
Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa
syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan
bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam
dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan
akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang
yang sehat atau yang sakit.
Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat
menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan penyakit
tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman
itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari sudut pandangan
empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai
suatu hubungan yang bersifat niscaya.
Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita
memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan
kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di
atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman
dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang
menyebabkan penyakit?
Indera hanya dapat memberikan data indera. Data itu
ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai
pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan
(artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus
pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh
pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi
pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada
pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu
“rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data
indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal
menghubungkan, misalnya “rasa menekan yang bersahaja” dengan “bunyi yang
kasar” untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan
terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal
untuk mengetahui suatu kejadian; hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk
pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.
B.
Pendapat
Para Filsuf Muslim
Kajian
sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu dilakukan
sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti kemudia
kajian berlanjut di Barat hingga kini dan setelah itu baru memasuki abad modern
umat Islam kembali melakukan kajian.
Ilmuan
klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi duaa yaitu ‘ilm ilahiy (devine science) dan ‘ilm
insaniy (human science). ‘ilm ilahiy adalah pengetahuan langsung yang
diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan.
Sedangkan ‘ilm insaniy adalah
pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang
disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason). Abu Hamid al-Ghazali (1111M)
membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan
al-Amal. Ia membagi ilmu kepada religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aliyah).
Al-Ghazali juga membagi ilmu kepada hudluri
(yang dihadikan) dan hushuli (yang
dicapai). Dari pembagian ini, nampak jelas bahwa al-Ghazali memandang bahwa
sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman
(empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Ghazali menggunakan
indera, akan dan Qalb.
Mahdi
Ghulsyani menyebukan, secara hakiki Al-Qur’an lah sebagai sumber ilmu. Ia
mengatakan :
Prinsip
ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan.
Bukanlah diluar Al-Qur’an, karena seluruh ilmu ini diraih dari salah satu
lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah kami sebutkan bahwa
Al-Qur’an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa kiranya lautan itu
tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis
sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Diantara perbuatan Allah yang (karena
keluasannya dapat disebit) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan
dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang
mengatakan “ketika aku sakit Dia-lah yang
menyembuhkan aku..” perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang
yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti
apa-apa selain pengetahuan tentang seluruh aspek penyakit sekaligus gejalanya,
juga pengetahuan penyembuhan dan cara-caranya. Diantara perbuatan Allah (juga)
adalah penentuan pengetahuan (manusia) tentang matahari, bulan, dan pengetahuan
tentang tingkatan-tingkatannya yang sesuai dengan waktu peredarannya, sebagai
mana Allah SWT berfirman “Matahari dan
bulan itu berjalan sesuai dengan peredarannya yang pasti, dan Dia atur
perjalanan bulan itu sehingga kamu dapat belajar bagaimana cara menghitung
tahun dan menentukan waktu...
C.
Pendekatan
Utama Khazanah Pemikiran Islam Terhadap Epistemologi (Sumber Ilmu)
Setelah
mendalami perkembangan pemikiran Islam, Al-Jabiri kemudian memperkenalkan tiga
pendekatan utama dalam khazanah pemikiran islam yang dinamai sebagai analisis
kritis terhadap epistimologi, pendekatan tersebut adalah bayani diwakili oleh fuqaha, burhani
diwakili oleh filosof dan irfani
diwakili oleh kaum sufisme.
1.
Bayani
Bayani
merupakan metode pemikiran yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan yang sudah jadi dan langusng mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran,
secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meskin demikian, hal ini bukan berarti akal atau
rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada
teks.
Dengan
demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur’an dan
al-Hadist. Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani
menempuh dua jalan. Pertama, bepegang pada redaksi (lafadz) teks, dengan
menggunakan bahasa Arab dan yang kedua, berpegang pada makna teks dengan
menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.
2.
Burhani
Burhani
merupakan sumber pengetahuan rasional argumentatif adalah epistemologi yang
mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika.
Dalam epistemologi burhani tercakup metoda yang berupaya memahami realitas teks
berdasarkan rasionalitas dan metode yang berusaha mendekati dan memahami
realitas obyektif atau konteks berdasarkan filosofi. Realitas tersebut meliputi
alam, realitas sejarah, realitas sosial dan realitas budaya. Model epistemologi
inilah yang pada akhirnya melahirkan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.
Munculnya
pemikiran kritis dikalangan ilmuan Muslim melahirkan konsep yang disebut
filsafat Islam, istilah ini menjadi demikian polemik diantara sesama muslim dan
ilmuan orientalis barat. Banyak perdebatan penting dan krusial menyangkut makna
dan nilai penting filsafat islam bagi peradaban Islam sendiri. Tenneman dan
E.Renan misalnya bersikap sekeptis terhadap kemandirian filsafat Islam. Para
oreientalis juga menuduh bahwa filsafat Islam itu tidak lain filsafat Yunani
yang ditulis dalam bahasa Arab. Dengan lain kata Filsafat Islam tidak lain
adalah filsafat Yunani yang diIsalamkan.
Materi
yang dibicarakan dalam filsafat Islam memang diantaranya sama dengan materi
yang dibahas dalam filsafat Yunani. Selain itu, juga harus diakui bahwa
perkenalan filosuf muslim dengan filsafat adalah melalui buku-buku yang berasal
dari Yunani. Seperti Al-Kindi (801-865 M) yang tercatat sebagai penterjemah
terbaik dari buku-buku filsafat Yunani. Meskipun demikian, hal ini bukan
berarti bahwa filosuf Muslim mengekor begitu saja filsafat-filsafat Yunani.
Jika diteliti lebih jauh, para filosuf muslim telah berhasil menelurkan
pemikiran yang original yang murni hasil dari olah pikir mereka sebagai akibat
bergesekkan dengan Islam. Hal ini bisa diamati dari pikiran-pikiran filosuf
muslim pertama, Al-Kindi. Selama hidupnya Al-Kindi mendedikasikan hidupnya untuk
meyakinkan kepada kaum Fiqh bahwa filsafat itu tidaklah bertentangan dengan
Islam.
Menurutnya,
Agama yang bersumber dari wahyu ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini
dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya
didasarkan pada pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya
ialah “kebenaran”. Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran.
Namun demkian kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang
berakal. Oleh sebab itu kebenaran agama harus digali agar lebih jelas.
Penggaliannya ini dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat. Jadi antara
agama dan filsafat tidaklah bertentangan.
Bagi
Al-Kindi kebenaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan lebih meyakinkan
daripada kebenaran filsafat, walaupun ia juga harus memakai filsafat untuk
lebih memperjelasnya. Tetapi pekerjaan membuka selubung tentang yang telah ada.
Dengan
kata lain, untuk mencari kebenaran melalui filsafat, maka akallah yang menjadi
alat pencariannya, dan kebenaran yang dibawa oleh agama, akal jua yang
berfungsi untuk membuka tabirnya, dengan demikian akal amat berfungsi dalam
filsadat dan juga dalam agama.
3.
Irfani
epistemologi
Bayanni adalah metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan
pengalaman langsung atas realitas keagamaan. Epistemologi ini menekankan akan
pengalaman baniniyah, qolbu atau intuisi. Jalan yang ditempuh lebih menitik
beratkan pada hubungan antara subyek adan obyek secara direct experience.
Sehingga subyek dan obyek bisa menyatu dalam diri subyek. Obyek hadir dalam
diri subyek (al ‘ilmu huduri).
Pengalaman
ini bisa disaksikan pada al-Ghazali (1058-1111 M). Menurut al-Ghazali kebenaran
hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya, tak terdapat
sedikitpun keraguan didalamnya. Seperti bahwa sepuluh itu lebih besar daripada
tiga. Al-Ghazali tidak mempercayai pengetahuan yang bersumber dari indrawi
(empirisme) sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat berubah-ubah dan tidak
tetap. Al-Ghazali juga tidak menaruhkan harapan dengan kredibilitas akal
(Rasionalisme) sebab jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya
dengan oran yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu tetapi
begitu ia bangun ternyata itu tidak sesungguhnya. Al-Ghazali kemudian terus
mengembara mencari sumber pengetahuan yang benar. Sampai kemudian dia menemukan
metode kasyf yaitu terbukalah pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya
kenabian. Metode ini menempuh langkah dengan jalan mengosongkan sama sekali
selain Allah, kemudian menenggelamkan diri dengan dzikir dan akhirnya fana dan
ittihad.
Suhrawardi
(1154-1191 M) juga demikian. Suhrawardi menrupakan pemeluk pengetahuan
iluminasi adalah pengalaman visioner yang dirasakan subyek pada tingkatan
ketiga setelah cahaya ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah
mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbataskan. Hal ini
diungkapkan dengan perkataan “mengetahuo sesuatu berarti memperoleh pengalaman
tentangnya”.
Untuk
memperoleh pengalaman visioner ini filosof harus melewati tahapan-tahapan yang
menggarap persoalan pengetahuan :
Pertama,
tahap persiapan untuk menapaki dimensi-dimensi iluminatif. Tahapan persiapan
ini berisi meninggalkan dunia, uzlah, puasa, dzikir dan praktek-praktek asketik
lainnya. Kedua, tahapan pencerahan yaitu merasuknya cahaya ilahi ke dalam wujud
manusia. Dalam proses ini cahaya ilahi mengambil peran penting sebagai fondasi
dasar pembangunan ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantara
kehadiran. Ketiga, tahapan konstruksi (perolehan) yaitu suatu pencapaian ilmu
yang benar dan tak terbatas. Dalam tahapan ini subyek telah dikatakan sebagai
filosof iluminasi yang mencapai tingkat “melihat” cahaya ilahi.
Tanggapan, ketiga
pendekatan dalam pemikiran islam tersebut telah terbukti mampu membesarkan berbagai
disiplin keilmuan. Pendekatan bayani memngembangkan ilmu fiqh dan teolog.
Pendekatan irfani telah menghasilkan konsep-konsep penting dalam tasawuf. Dan
pendekatan burhani telah meletakan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.
Namun
demikian, harus diakui bahwa masing-masing dari ketiga epistemologi diatas
memiliki kelemahan-kelemahan. Pada epistemologi bayani akan mengalami kesulitan
ketika dia berhadapan dengan teks, masyarakat, komunitas dan budaya yang
berbeda. Kesulitan ini terletak pada kuatnya otoritas teks dan rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal saja tanpa adanya pengolahan lebih lanjut oleh
rasio. Sementara bagi komunitas lain teks yang disuguhkan belum tentu ia
terima. Sehingga yang terjadi adalah sikap dan mental dogmatis, defensif dan apologetik
akan segera bersarang.
Kelemahan
epistemologi irfani adalah bahwa istilah-istilah intelektualnya seperti ilham,
kasyf dan sejenisnya telah terlanjur terbakukan dan terinstutusionalkan dalam
terekat-terakat yang mandiri dengan wirid-wirid tertentu yang menyertainya.
Pola epistem ini akan melahirkan pribadi yang inklusif dan tertutup dengan
dunia luar.
Sementara
pendekatan burhani kelemahannya terletak pada kenyataan bahwa meskipun ia
rasional tetapi masih lebih didasarkan atas model pemikiran induktif-deduktif.
Sehingga terjadi kemiskinan roh dalam pengetahuan. Tentu hal ini sangat tidak
memadai dalam pemikiran kontemporer.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran barat dan
pemikiran Islam mengandung unsur polemik yang berkelanjutan namun pemikiran tersebut
dapat kita aplikasikan dalam mendapatkan ilmu baru serta melanjutkan kajian
didalam filsfat modern karena harus diakui ada kebenaran yang terkandung
didalamnya namun ada juga titik kelemahan pada masing-masing pemikiran dari
tokoh-tokoh filsuf tersebut.
Didalam konsepsi
filsafat barat dikonsepkan bahwa ilmu dapat diperoleh melalui Rasionalisme,
Empiris, dan fenomena bisa kita cerna bahwa itu adalah benar dan masing-masing
juga memiliki titik kelemahan dari teori itu sendiri, sedangkan didalam Islam
pemilik Ilmu adalah Tuhan yang maha Esa yakni Allah SWT dan sesungguhnya sangat
banyak yang tidak kita ketahui dan Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu
yang berarti ilmu yang kita pelajari hanyalah sedikit dari ilmu yang telah dia
ciptakan namun dapat kita dituntut untuk mempelajari setiap ilmu yang ada
disemesta alam yang dapat diperoleh dengan pemikiran-pemikiran yang mendalam
dan menggunakan pendekatan menurut filsuf Islam dengan analisis kritis terhadap
epistemologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar