Rabu, 27 Maret 2013

Konflik GAM Aceh


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
          Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan dan masalah kekuasaan, tetapi emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik. Bentuk dan sifat konflik dalam kehidupan sosial tidak selalu sama. Terdapat variasi dalam konflik, baik menyangkut bentuk, sifat, maupun penyebab terjadinya sehingga cara penyelesaiannya pun berbeda. Kemungkinan berlangsungnya konflik akan semakin menguat jika perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) tersebut dipertajam  oleh  perbedaan  vertikal  (kesenjangan  ekonomi  dan  kekuasaan). Dalam persoalan konflik konteks struktur dan fungsi kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan harus diperhatikan karena masyarakat sebagai suatu unit entitas akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan konflik. Sebagai realitas sosial masyarakat, konflik mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Dalam  dimensi  positif,  konfllik  menjadi  bagian  penting  untuk  terwujudnya perubahan  sosial  yang  lebih  berarti  menyelaikan  perbedaan  yang  timbul, membangun dinamika, heroisme, militanisme, penguatan solidaritanisme baru, serta lompatan sejarah ke depan untuk integrasi yang lebih kokoh. Sedangkan dimensi  negatif,  konflik  menimbulkan  resiko  bagi  masyarakat  dan  bangsa.
          Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk di dalamnya



hubungan konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya tingkat ketidaksamaan antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama.
          Dahrendorf (1986) mengemukakan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari struktur sosial setempat.
          Coser (1974)  mengatakan  bahwa  konflik adalah  salah  satu  komponen penting dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak selalu negatif atau merusak. Dalam batas tertentu, konflik juga  dapat  menyumbang  bagi  kelestarian  kehidupan  sosial  dan mempererat hubungan antaranggota.
          Demikian pula halnya dengan peristiwa konflik sosial yang terjadi di Aceh. Akar konflik  di  daerah tersebut  telah  berlangsung sejak  jaman kolonial,  perbedaan  ideologi,  kepentingan  politik,  budaya,  sosial,  ekonomi dan sebagainya menjadi  faktor penting dalam membangun hubungan konflik dan  kekerasan.  Terbebaskannya  mereka  dari  penjajahan  ternyata  tidak membebasakan mereka dari situasi konflik. Khususnya di Aceh, konflik terus berlangsung di era kemerdekaan sampai terjadinya reformasi dalam kehidupan politik di Indonesia. Perbedaan kepentingan ideologi, politik, dan kemudian dipertajam oleh penguasaan aset ekonomi antara daerah dan pusat, semakin memperpanjang berjalannya pergolakan konflik di Aceh. Lebih jelas muculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976-2005 adalah kenyataan perlawanan Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia, GAM  merupakan




gerakan garis keras yang menuntut kebebasan, dengan gerilnya perlawanan dilakukan membuat suasana semakin kacau, hukum ada hanya dijadikan sebagai simbol. Oleh karena itu, penyaji mengangkat masalah konflik-konflik di Aceh sebagai bahan kajian makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
          Dari penjelasan latar belakang, maka dapat dirumuskan pada konsep makalah ini adalah:
a.  Bagaimanakah bentuk konflik yang berlangsung?
b. Apa penyebab terjadinya konflik tersebut?
c.  Bagaimana Upaya Penyelesaian kasus di Aceh?
d. Bagaimana kondisi masyarakat Aceh pasca konflik?

1.3  Tujuan Penulisan
          Tujuan penilisan makalah ini adalah agar bisa memahami bagaimana persoalan konflik yang terjadi dan kondisi masyarakat Aceh setelah pasca konflik. Terjadinya konflik berbagai persoalan yang tersisa saat ini dan dapat dilihat dengan bukti nyata.

  
BAB II
ISI

2.1  Bentuk Tragedi Konflik Di Aceh
          Pokok pertikaian (violent conflict) di Aceh lebih bersifat tegak lurus (vertically violent conflicts). Ini berarti pertikaian itu terjadi antara pemerintah pusat (PemPus) dengan sebagian besar rakyat Aceh yang dipresentasikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
          Peristiwa konflik yang melanda aceh sejak tahun 1976 sampai tahun 2005, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Serambi Makkah terus bergejolak dan konflikpun semakin menjalar, sampai pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan suharto Aceh ditetapkan sebagai Daerah Oprasi Militer ( DOM) 1989 sampai 1998 yang tak pernah dirasakan oleh daerah-daerah lain, DOM muncul bagaikan neraka yang harus dijalani oleh masyarakat aceh, tidak sedikit wanita diperkosa, anak-anak dibunuh dan ulama juga ikut dimusnahkan dengan hukum yang mereka bawa sendiri, penyelsaian konflik yang sangat yang tidak bermoral membuat Aceh bagaikan kota mati, suara ledakan bom dan letusan senjata, terjadi bagaikan lantunan musik yang tak pernah putus. Suasana mencekam tersebut akirnya meninggalkan duka, sedih, dan trauma yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat aceh.
          Dari kondisi  sosial  politik  lokal,  konflik yang  demikian parah,  pemilu nasional terakhir (2004)  tidak dimungkinkan dilakukan pemilu karena adanya ancaman dari pihak sipil bersenjata GAM. Tindakan represif dari militer ketika berlangsungnya  Operasi  Militer  di Aceh  nampak  menjadi  faktor  pendorong

                                                                                                                             
menguatnya ikatan antara pemimpin formal dan informal tradisional dan masa rakyat  demikian  solid.  Dalam  kenyataan  oprasi  militer  yang  demikian  luar biasa dan lama menumpas GAM tidak berhasil, dan tindakan kekerasan justru menjadi kontra produktif. GAM semakin kuat, untuk mendapat dukungan rakyat. Geuchik (kepala desa/ tokoh adat), ketika pasca daerah oprasi militer ternyata memiliki andil dalam memobilisasi rakyat di desa untuk pergi meninggalkan desa, masuk ke hutan, seperti yang terjadi di Gempang ( Ibid hlm:39).
          Tradisi masyarakat Aceh adalah tradisi perlawanan dan perjuangan untuk suatu penindasan (dzalim dan fasiq), ditunjukan dalam perang Aceh melawan Belanda (1873-1904)  selama  31  tahun,  perang  kemerdekaan  Indonesia, Operasi militer tehadap DI/TII dan operasi militer penumpasan GAM sampai pemberlakuan  DOM  (1989-1998)  lebih  kurang  30  tahun.  Hikayat  perang sabil  masing  dikumandangkan  di  desa  desa  guna  membangkitkan  ”jihad fisabililah” ini  terjadi  pada  masa  DOM.  Hukum  yang  terjadi  ketika  konflik di Aceh  melalui operasi militer  hukum tindakan represif dengan pengiriman 12 ribu tentara menimbulkan akses yang luas berupa hilangnya ketentraman, keamanan dan ketidakpastian hukum. Adanya pemberlakuan DOM selama 10 tahun 1989-1998),  kekerasan  individual,  kekerasan  struktural dan kekerasan politik telah terjadi di Aceh. Kasus pelecehan, pemerkosaan, kasus penculikan, pembunuhan, tragedi Beutong di kenal peristiwa Teungku Bantaqiah peristiwa pembataian 23 juli 1999, di lakukan tentara (Gatra ,1 Agustus 1999), Kemudian kasus Simpang KKA yang menelan korban sipil 40 orang tewas oleh tentara (Berta  kontra  no 1 /1999.) Pada  masa ini terjadi 128 pemerkosaan 81  kasus pelecehan, 1547 rumah rusak, 657 kendaraan di rampas, 700 miliar uang rakyat Aceh hilang, 7733 kasus pelanggaran HAM, 487 orang hilang dan meninggal perlakuan represif ini justru  memunculka apa yang di sebut janda DOM dan anak  anak  korban  DOM-  rasa  benci  kepada  tentara  muncul  dan  rakyatpun bergerak melakukan perlawanan hak haknya (Ibid: 50).


2.2 Memahami Faktor Konflik di Aceh
1. Faktor sejarah dan budaya
Hal yang perlu di pahami dalam konteks sejarah dan budaya masyarakat Aceh bahwa tradisi budaya mereka tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam dan konsep  agama sesuatu yang ”melekat” dengan  soal kekuasaan  (politik). Oleh karena itu, merusak struktur masyarakat di desa yang sangat menghormati seperti Geuchik (kepala desa/ tokoh adat), Ieume Meunasah (tokoh agama/ tokoh informal) dan Tuha Peut (penasehat dan lembaga”pengadilan ”) adalah sangat sensitif, justru ini yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru. Pembangunan atas nama modernisasi, telah merusak nilai nilai tradisi keagamaan yang kuat melekat  dalam  kehidupan  sosial  budaya  masyarakat  Aceh.  Dengan  sejarah tradisi  perlawanan,  Hasan  Tiro  tokoh  GAM  cucu  Tengku  Cik  Di  Tiro  tokoh pejuang  yang  juga  murid  Daud  Beureuh  dan  pada  waktu  gerakan  DI/TII, mengklaim dirinya sebagai duta besar DI/TII di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (PSK-USAID:52).
2. Faktor sosial ekonomi: Dominasi Elite atas Masyarakat Lokal
Wilayah Aceh secara ekonomis sangatlah kaya dan potensial, terutama di bidang pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, industri, perdagangan dan pertambangan.  Hasil survei Alan  Snout,  konsultan  Perserikatan  Bangsa Bangsa (PBB), menyebutkan Aceh salah satu dari tiga wilayah yang memiliki perlengkapan sumber daya alam  di Indonesia setelah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dalam kenyataannya pemerintah pusat memperlakukan secara tidak adil dalam pembagian dalam hasil kekayaan dari bumi Aceh. Sebagai contoh sejak 1979-1997 LNG Arun menyumbangkan devisa sebesar 45.223.448  US dolar yang kembali ke Aceh dalam bentuk APBD hanya 0,5%. Nilai di bandingkan dengan masa kolonial, pemerintah kolonial Belanda dan kerajaan Reureulak di


tahun 1895, porsinya 75%, kolonial hanya mendapatkan 24%, pada tahun 1905 pembagiannya kolonial  60% sedangkan Reureulak mendapatkan  40% (PSK- UNDP, Ibid, hlm.47). Untuk pertumbuhan ekonomi di Aceh di tahun 1995-1997 sekitar 5 sampai 8 % (di atas pertumbuhan nasional), akan tetapi masyrakat Aceh yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 1354.081(33,24%), dan Aceh menjadi daerah yang memiliki desa miskin terbanyak di kawasan Sumatra yakni 2275 desa ( Ibid). Demikian pula yang menikmati dan mendapatkan proyek terjadi dikriminisasi, orang dan perusahaaan di luar Aceh mendapatkan nilai proyek bernilai besar sedangkan kontraktor lokal hanya menangani proyek bernilai kecil. Demikian pula dengan penerimaan karyawan tidak hanya dalam perusahaan swasta, akan tetapi juga dalam rekruitmen pegawai negeri (Ibid).
3.  Faktor Politik
Ada faktor politik yang sangat beperan dalam memahami konflik di Aceh; pertama, faktor internal. Eskalasi konflik di Aceh yang awalnya kelompok DI/TII (Tgk Muhammad Daud Beureuh) dan kelompok GAM (Hasan Tiro) dengan TNI. Dalam perkembangan, akibat tindakan represif, khususnya militer di Aceh lahir penyadaran dari berbagai lapisan masyarakat. Kelompok yang berperan untuk  melakukan  penyadaran  pada  masa  DOM  dan  pasca  DOM  meliputi; pemimpin  informal  desa  yang  melakukan  penyuluhan  kepada  masyarakat, solidaritas yang semakin menguat ketika adanya pembelaan terhadap berbagai kasus korban  di Aceh, GAM  melakukan dengan cara violence (senjata)  dan non-violence (diplomasi dan penanaman kesadaran), kelompok Aceh menderita ( korban DOM) dengan violence (kekerasan sporadis). Mahasiswa non-violence (demonstrasi  dan  opini),  pemogokan  masyarakat  4 sampai  5 Agustus  1999;
LSM dengan cara  violence (mengungkapkan  fakta):  Ulama Dayah (HUDA) SIRA dan  mahasiswa (mempelopori pawai referendum) tanggal 8 November 1999 yang di hadiri lebih kurang 2 juta rakyat Aceh. Kedua, faktor eksternal.


Opini Internasional, telah membawa persoalan konflik di Aceh ke dalam suatu proses  perundingan  dengan  melibatkan  pihak  luar  dalam  hal  ini  pengamat Internasional  yang  kemudian  melahirkan  MoU  Helsinki.  Proses  diplomasi menghentikan tindakan kekerasan sebagai second track dari diplomasi antara
pemerintah  RI  dan  GAM  yang  membangun  perdamain.  Kesepahaman  yang di capai telah  mengakhiri  cara  kekerasan  yang  selama  ini berlangsung,  dan berdamai sebuah penyelesaian konflik termulya di negeri ”Serambi Mekah”.
2.3 Upaya Penyelesaian       
          Tercapainya perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada bulan Agustus 2005 adalah sebuah rahmat dan prestasi besar tidak hanya untuk perdamaian antara sebuah gerakan separatis dengan pemerintah, akan tetapi juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bahkan lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan.
          Secara umum, Pemerintah memfokuskan pelaksanaan kebijakan untuk meningkatkan rasa percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat melalui: 1. Memelihara kepercayaan masyarakat terhadap langkah-langkah kebijakan Pemerintah melalui komunikasi yang terbuka dan penegakan hukum secara tegas;
2. Meningkatkan kualitas dan kapasitas lembaga pemerintah pusat; ketiga, menjamin akses masyarakat yang seluas-luasnya pada media informasi yang independen;
3. Terus mendorong pemberdayaan masyarakat sipil serta meningkatkan pendidikan nilai-nilai luhur kebangsaan dan demokrasi kepada masyarakat luas;




4. Meningkatkan koordinasi antarlembaga pemerintah, baik di pusat maupun dengan daerah. Secara umum penerapan sejumlah kebijakan yang persuasif, tidak memihak, proaktif, dan berimbang dari Pemerintah telah mampu mengurangi dan menghilangkan dampak-dampak negatif dari konflik yang berdimensi politik di daerah-daerah yang rawan terhadap munculnya konflik vertikal dan horizontal
5. Untuk melanjutkan pembangunan bangsa dan pembangunan karakter rakyat yang kuat, Pemerintah tetap menempatkan empat pilar penting konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman tertinggi kehidupan sosial politik seluruh bangsa. Seluruh anggota masyarakat dan organisasi masyarakat sipil hendaknya menghindarkan diri dari sikap-sikap dan perilaku ingin menang sendiri dan tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan apa saja yang muncul di dalam kehidupan sosial politik.
6. Sasaran sosialisasi Pancasila adalah seluruh rakyat atau komponen bangsa karena Pancasila adalah milik kita bersama sekaligus dasar negara NKRI yang harus dipahami, untuk selanjutnya dilaksanakan secara konsisten dalam hidup berbangsa dan bernegara oleh setiap warga negara tanpa kecuali. Di samping itu, diperlukan metode yang tepat untuk mengimplementasikan nilai- nilai Pancasila yang lebih cocok dengan situasi saat ini melalui konsep-konsep untuk dikaji secara konseptual guna memecahkan permasalahan terhadap fenomena yang muncul yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendekatan humanis perlu  lebih dikedepankan, kebebasan menyatakan pendapat perlu ditambahkan dan tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinatif.
7. Pemerintah juga akan terus memelihara arus informasi kepada masyarakat secara transparan, melindungi kebebasan berekspresi secara optimal. Pemerintah juga akan terus mengembangkan potensi media center bagi


pemerataan dan aksesibilitas perolehan informasi kepada seluruh anggota masyarakat, agar setiap anggota masyarakat tetap mampu menjaga dirinya dari setiap provokasi politik yang berbahaya bagi persatuan bangsa dan memelihara harmonisasi kehidupan sosial di wilayah tertentu.
8. Hal-hal berikut ini tetap perlu menjadi pedoman Pemerintah: pertama, tindakan kekerasan dan teror akan langsung mendapat penindakan yang tegas sesuai dengan hukum yang berlaku; kedua, Pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan dan ancaman dari pihak mana pun dari dalam dan luar negeri untuk menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara negara sesuai dengan konstitusi; ketiga, sebagai negara yang berideologi Pancasila, Pemerintah berkewajiban melindungi segenap warga negara tanpa melihat latar belakang agama, kelompok politik, ataupun kesukuan.
9. Dalam rangka mencegah kerawanan sosial, sejak tahun 2006 Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah. Upaya Lain yang dilakukan adalah memantapkan peran Pemerintah sebagai fasilitator dan mediator yang adil dalam menjaga dan memelihara kesatuan, perdamaian, dan harmoni dalam masyarakat. Sebelumnya, dalam membina kerukunan umat beragama, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
10. Pemerintah juga terus melakukan pembinaan ideologi dan pengawasan pembangunan dengan melaksanakan kegiatan utama berupa Sosialisasi Wawasan Kebangsaan dan Cinta Tanah Air yang bekerja sama dengan ormas,


 LSM, dan lembaga nirlaba lainnya. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperkuat wawasan kebangsaan masyarakat dengan mengoptimalkan peran serta ormas, LSM, dan lembaga nirlaba lainnya. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 telah dilaksanakan kerja sama program wawasan kebangsaan dan cinta tanah air dengan 467 ormas, 180 ormas, dan 205 ormas masing-masing untuk tahun 2005, 2006 dan 2007. Upaya kemitraan dan kerja sama dengan ormas akan terus dilaksanakan dan ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang untuk membangun pemahaman dan komitmen kebangsaan yang semakin baik.
2.4 Kondisi Masyarakat Aceh Pasca Konflik
          Dari berbagai konflik dengan klasifikasinya ada beberapa masalah pascakonflik yang dapat diidentifikasi, baik dari segi ekonomi, hukum, politik dansosial budaya, di antaranya:
1.  Hancurnya sumber-sumber kehidupan,  harta serta mata pencaharian penduduk  di  daerah  konflik  yang  menimbulkan  beban  berat  bagi pemerintah pusat.
2. Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya  pengungsian massal guna menghindari korban konflik.
3.  Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat, karena dalam prosesnya diwarnai politik kekerasan dari penguasa, elit politik dan masyarakat.
4.  Terjadinya  perilaku  politik  yang  bersifat egosentris dan komunal  dikalangan elit lokal menciptakan ketidakharmonisan berbagai element masyarakat.
5.  Terjadinya  intervensi  ’asing’  secara  sistematis  di  kawasan  konflik,  untuk  menggoyahkan  eksisitensi  ideologi  dan  kedaulatan  wilayah negara.




6.  Timbulnya  rasa  takut,  curiga  berkepanjangan,  menguatnya komunalisme, kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat.
7. Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi sebagai perekat.
8.  Trauma Psikologis



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik di Aceh adalah bukti penuntutan ketidak adilan pemerintah yang menindas hak rakyatnya dan penyelesaian konflik dilakukan yang tidak bermoral, sehingga muncul kesedihan, dan trauma dimasyarakat sampai saat ini, apalagi ketika mengenang kisah-kisah yang lalu, Aceh bersimbah darah.
3.2 Saran
Menyimak begitu panjangnya rentetan konflik di tanah Serambi Mekkah tersebut dan melihat begitu banyaknya korban berjatuhan, tentu saja kita berharap penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah dan pihak GAM di Helinski, Finlandia merupakan keputusan dan kesepakatan terakhir untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik di masa-masa mendatang. Dan harapan kesedihan, trauma para korban bisa sembuh seperti semula.

DAFTAR PUSTAKA
Grunady. 2007.  Mengunggkap Kekerasan Aceh.  Seuramoe Press. Lhokseumawe.
Nasikun. 1989. Sistem Sosial Indonesia. Penerbit CV Rajawali. Jakarta
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit Ghalia
            Indonesia. Bogor


Tidak ada komentar:

Posting Komentar