BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Konflik dalam kehidupan sosial berarti
benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak
melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik sosial tidak hanya berakar pada
ketidakpuasan batin, kecemburuan, kebencian, masalah perut, masalah tanah,
masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan dan masalah kekuasaan, tetapi emosi
manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik. Bentuk dan sifat konflik
dalam kehidupan sosial tidak selalu sama. Terdapat variasi dalam konflik, baik menyangkut
bentuk, sifat, maupun penyebab terjadinya sehingga cara penyelesaiannya pun
berbeda. Kemungkinan berlangsungnya konflik akan semakin menguat jika perbedaan
horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) tersebut
dipertajam oleh perbedaan
vertikal (kesenjangan ekonomi
dan kekuasaan). Dalam persoalan
konflik konteks struktur dan fungsi kehidupan sosial masyarakat yang
bersangkutan harus diperhatikan karena masyarakat sebagai suatu unit entitas
akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan konflik. Sebagai
realitas sosial masyarakat, konflik mempunyai sisi positif dan sisi negatif.
Dalam dimensi positif,
konfllik menjadi bagian
penting untuk terwujudnya perubahan sosial
yang lebih berarti
menyelaikan perbedaan yang
timbul, membangun dinamika, heroisme, militanisme, penguatan
solidaritanisme baru, serta lompatan sejarah ke depan untuk integrasi yang
lebih kokoh. Sedangkan dimensi
negatif, konflik menimbulkan
resiko bagi masyarakat
dan bangsa.
Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa
struktur adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai
posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk
di dalamnya
hubungan
konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya tingkat ketidaksamaan
antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga
mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi,
eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama.
Dahrendorf (1986) mengemukakan bahwa
konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang
berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar
kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau
dari struktur sosial setempat.
Coser (1974) mengatakan
bahwa konflik adalah salah
satu komponen penting dalam
interaksi sosial. Oleh karena itu, konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik
tidak selalu negatif atau merusak. Dalam batas tertentu, konflik juga dapat
menyumbang bagi kelestarian
kehidupan sosial dan mempererat hubungan antaranggota.
Demikian pula halnya dengan peristiwa
konflik sosial yang terjadi di Aceh. Akar konflik di
daerah tersebut telah berlangsung sejak jaman kolonial, perbedaan
ideologi, kepentingan politik,
budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya menjadi faktor penting dalam membangun hubungan
konflik dan kekerasan. Terbebaskannya mereka
dari penjajahan ternyata
tidak membebasakan mereka dari situasi konflik. Khususnya di Aceh,
konflik terus berlangsung di era kemerdekaan sampai terjadinya reformasi dalam
kehidupan politik di Indonesia. Perbedaan kepentingan ideologi, politik, dan kemudian
dipertajam oleh penguasaan aset ekonomi antara daerah dan pusat, semakin
memperpanjang berjalannya pergolakan konflik di Aceh. Lebih jelas muculnya
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976-2005 adalah kenyataan perlawanan
Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia, GAM
merupakan
gerakan
garis keras yang menuntut kebebasan, dengan gerilnya perlawanan dilakukan
membuat suasana semakin kacau, hukum ada hanya dijadikan sebagai simbol. Oleh
karena itu, penyaji mengangkat masalah konflik-konflik di Aceh sebagai bahan
kajian makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang, maka
dapat dirumuskan pada konsep makalah ini adalah:
a. Bagaimanakah
bentuk konflik yang berlangsung?
b. Apa
penyebab terjadinya konflik tersebut?
c. Bagaimana
Upaya Penyelesaian kasus di Aceh?
d. Bagaimana
kondisi masyarakat Aceh pasca konflik?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan penilisan makalah ini adalah
agar bisa memahami bagaimana persoalan konflik yang terjadi dan kondisi
masyarakat Aceh setelah pasca konflik. Terjadinya konflik berbagai persoalan
yang tersisa saat ini dan dapat dilihat dengan bukti nyata.
BAB II
ISI
2.1
Bentuk Tragedi Konflik Di Aceh
Pokok pertikaian (violent conflict) di
Aceh lebih bersifat tegak lurus (vertically violent conflicts). Ini berarti
pertikaian itu terjadi antara pemerintah pusat (PemPus) dengan sebagian besar
rakyat Aceh yang dipresentasikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Peristiwa konflik yang melanda aceh
sejak tahun 1976 sampai tahun 2005, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun
Serambi Makkah terus bergejolak dan konflikpun semakin menjalar, sampai
pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan suharto Aceh ditetapkan
sebagai Daerah Oprasi Militer ( DOM) 1989 sampai 1998 yang tak pernah dirasakan
oleh daerah-daerah lain, DOM muncul bagaikan neraka yang harus dijalani oleh
masyarakat aceh, tidak sedikit wanita diperkosa, anak-anak dibunuh dan ulama
juga ikut dimusnahkan dengan hukum yang mereka bawa sendiri, penyelsaian
konflik yang sangat yang tidak bermoral membuat Aceh bagaikan kota mati, suara
ledakan bom dan letusan senjata, terjadi bagaikan lantunan musik yang tak
pernah putus. Suasana mencekam tersebut akirnya meninggalkan duka, sedih, dan
trauma yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat aceh.
Dari kondisi sosial
politik lokal, konflik yang
demikian parah, pemilu nasional
terakhir (2004) tidak dimungkinkan dilakukan
pemilu karena adanya ancaman dari pihak sipil bersenjata GAM. Tindakan represif
dari militer ketika berlangsungnya
Operasi Militer di Aceh
nampak menjadi faktor
pendorong
menguatnya
ikatan antara pemimpin formal dan informal tradisional dan masa rakyat demikian
solid. Dalam kenyataan
oprasi militer yang
demikian luar biasa dan lama
menumpas GAM tidak berhasil, dan tindakan kekerasan justru menjadi kontra
produktif. GAM semakin kuat, untuk mendapat dukungan rakyat. Geuchik (kepala
desa/ tokoh adat), ketika pasca daerah oprasi militer ternyata memiliki andil
dalam memobilisasi rakyat di desa untuk pergi meninggalkan desa, masuk ke
hutan, seperti yang terjadi di Gempang ( Ibid hlm:39).
Tradisi masyarakat Aceh adalah tradisi
perlawanan dan perjuangan untuk suatu penindasan (dzalim dan fasiq), ditunjukan
dalam perang Aceh melawan Belanda (1873-1904)
selama 31 tahun,
perang kemerdekaan Indonesia, Operasi militer tehadap DI/TII dan
operasi militer penumpasan GAM sampai pemberlakuan DOM
(1989-1998) lebih kurang
30 tahun. Hikayat
perang sabil masing dikumandangkan di
desa desa guna
membangkitkan ”jihad fisabililah”
ini terjadi pada
masa DOM. Hukum yang
terjadi ketika konflik di Aceh melalui operasi militer hukum tindakan represif dengan pengiriman 12
ribu tentara menimbulkan akses yang luas berupa hilangnya ketentraman, keamanan
dan ketidakpastian hukum. Adanya pemberlakuan DOM selama 10 tahun
1989-1998), kekerasan individual,
kekerasan struktural dan
kekerasan politik telah terjadi di Aceh. Kasus pelecehan, pemerkosaan, kasus
penculikan, pembunuhan, tragedi Beutong di kenal peristiwa Teungku Bantaqiah
peristiwa pembataian 23 juli 1999, di lakukan tentara (Gatra ,1 Agustus 1999),
Kemudian kasus Simpang KKA yang menelan korban sipil 40 orang tewas oleh
tentara (Berta kontra no 1 /1999.) Pada masa ini terjadi 128 pemerkosaan 81 kasus pelecehan, 1547 rumah rusak, 657
kendaraan di rampas, 700 miliar uang rakyat Aceh hilang, 7733 kasus pelanggaran
HAM, 487 orang hilang dan meninggal perlakuan represif ini justru memunculka apa yang di sebut janda DOM dan anak anak
korban DOM- rasa
benci kepada tentara
muncul dan rakyatpun bergerak melakukan perlawanan hak
haknya (Ibid: 50).
2.2
Memahami Faktor Konflik di Aceh
1.
Faktor sejarah dan budaya
Hal
yang perlu di pahami dalam konteks sejarah dan budaya masyarakat Aceh bahwa
tradisi budaya mereka tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam dan konsep agama sesuatu yang ”melekat” dengan soal kekuasaan (politik). Oleh karena itu, merusak struktur
masyarakat di desa yang sangat menghormati seperti Geuchik (kepala desa/ tokoh
adat), Ieume Meunasah (tokoh agama/ tokoh informal) dan Tuha Peut (penasehat
dan lembaga”pengadilan ”) adalah sangat sensitif, justru ini yang terjadi di
masa pemerintahan Orde Baru. Pembangunan atas nama modernisasi, telah merusak
nilai nilai tradisi keagamaan yang kuat melekat
dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat Aceh.
Dengan sejarah tradisi perlawanan,
Hasan Tiro tokoh
GAM cucu Tengku
Cik Di Tiro
tokoh pejuang yang juga
murid Daud Beureuh
dan pada waktu
gerakan DI/TII, mengklaim dirinya
sebagai duta besar DI/TII di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (PSK-USAID:52).
2.
Faktor sosial ekonomi: Dominasi Elite atas Masyarakat Lokal
Wilayah
Aceh secara ekonomis sangatlah kaya dan potensial, terutama di bidang
pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, industri, perdagangan dan
pertambangan. Hasil survei Alan Snout,
konsultan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menyebutkan Aceh salah
satu dari tiga wilayah yang memiliki perlengkapan sumber daya alam di Indonesia setelah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Dalam kenyataannya pemerintah pusat memperlakukan secara tidak adil dalam
pembagian dalam hasil kekayaan dari bumi Aceh. Sebagai contoh sejak 1979-1997
LNG Arun menyumbangkan devisa sebesar 45.223.448 US dolar yang kembali ke Aceh dalam bentuk
APBD hanya 0,5%. Nilai di bandingkan dengan masa kolonial, pemerintah kolonial
Belanda dan kerajaan Reureulak di
tahun
1895, porsinya 75%, kolonial hanya mendapatkan 24%, pada tahun 1905 pembagiannya
kolonial 60% sedangkan Reureulak
mendapatkan 40% (PSK- UNDP, Ibid,
hlm.47). Untuk pertumbuhan ekonomi di Aceh di tahun 1995-1997 sekitar 5 sampai 8
% (di atas pertumbuhan nasional), akan tetapi masyrakat Aceh yang hidup di bawah
garis kemiskinan sekitar 1354.081(33,24%), dan Aceh menjadi daerah yang
memiliki desa miskin terbanyak di kawasan Sumatra yakni 2275 desa ( Ibid). Demikian
pula yang menikmati dan mendapatkan proyek terjadi dikriminisasi, orang dan
perusahaaan di luar Aceh mendapatkan nilai proyek bernilai besar sedangkan
kontraktor lokal hanya menangani proyek bernilai kecil. Demikian pula dengan
penerimaan karyawan tidak hanya dalam perusahaan swasta, akan tetapi juga dalam
rekruitmen pegawai negeri (Ibid).
3. Faktor Politik
Ada
faktor politik yang sangat beperan dalam memahami konflik di Aceh; pertama,
faktor internal. Eskalasi konflik di Aceh yang awalnya kelompok DI/TII (Tgk
Muhammad Daud Beureuh) dan kelompok GAM (Hasan Tiro) dengan TNI. Dalam
perkembangan, akibat tindakan represif, khususnya militer di Aceh lahir
penyadaran dari berbagai lapisan masyarakat. Kelompok yang berperan untuk melakukan
penyadaran pada masa DOM dan
pasca DOM meliputi; pemimpin informal
desa yang melakukan
penyuluhan kepada masyarakat, solidaritas yang semakin menguat
ketika adanya pembelaan terhadap berbagai kasus korban di Aceh, GAM
melakukan dengan cara violence (senjata)
dan non-violence (diplomasi dan penanaman kesadaran), kelompok Aceh
menderita ( korban DOM) dengan violence (kekerasan sporadis). Mahasiswa
non-violence (demonstrasi dan opini),
pemogokan masyarakat 4 sampai
5 Agustus 1999;
LSM
dengan cara violence (mengungkapkan fakta):
Ulama Dayah (HUDA) SIRA dan
mahasiswa (mempelopori pawai referendum) tanggal 8 November 1999 yang di
hadiri lebih kurang 2 juta rakyat Aceh. Kedua, faktor eksternal.
Opini
Internasional, telah membawa persoalan konflik di Aceh ke dalam suatu proses perundingan
dengan melibatkan pihak luar dalam
hal ini pengamat Internasional yang
kemudian melahirkan MoU
Helsinki. Proses diplomasi menghentikan tindakan kekerasan
sebagai second track dari diplomasi antara
pemerintah RI dan GAM
yang membangun perdamain.
Kesepahaman yang di capai
telah mengakhiri cara
kekerasan yang selama
ini berlangsung, dan berdamai
sebuah penyelesaian konflik termulya di negeri ”Serambi Mekah”.
2.3
Upaya Penyelesaian
Tercapainya perdamaian antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada bulan Agustus 2005 adalah
sebuah rahmat dan prestasi besar tidak hanya untuk perdamaian antara sebuah
gerakan separatis dengan pemerintah, akan tetapi juga bagi masyarakat Aceh dan
bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bahkan lebih dari itu, yakni untuk
perdamaian dan keamanan kawasan.
Secara umum, Pemerintah memfokuskan
pelaksanaan kebijakan untuk meningkatkan rasa percaya dan harmonisasi
antarkelompok masyarakat melalui: 1. Memelihara kepercayaan masyarakat terhadap
langkah-langkah kebijakan Pemerintah melalui komunikasi yang terbuka dan
penegakan hukum secara tegas;
2.
Meningkatkan kualitas dan kapasitas lembaga pemerintah pusat; ketiga, menjamin
akses masyarakat yang seluas-luasnya pada media informasi yang independen;
3.
Terus mendorong pemberdayaan masyarakat sipil serta meningkatkan pendidikan
nilai-nilai luhur kebangsaan dan demokrasi kepada masyarakat luas;
4.
Meningkatkan koordinasi antarlembaga pemerintah, baik di pusat maupun dengan
daerah. Secara umum penerapan sejumlah kebijakan yang persuasif, tidak memihak,
proaktif, dan berimbang dari Pemerintah telah mampu mengurangi dan
menghilangkan dampak-dampak negatif dari konflik yang berdimensi politik di
daerah-daerah yang rawan terhadap munculnya konflik vertikal dan horizontal
5.
Untuk melanjutkan pembangunan bangsa dan pembangunan karakter rakyat yang kuat,
Pemerintah tetap menempatkan empat pilar penting konsensus bangsa, yakni
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman tertinggi
kehidupan sosial politik seluruh bangsa. Seluruh anggota masyarakat dan organisasi
masyarakat sipil hendaknya menghindarkan diri dari sikap-sikap dan perilaku
ingin menang sendiri dan tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan main
hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan apa saja yang muncul di dalam
kehidupan sosial politik.
6.
Sasaran sosialisasi Pancasila adalah seluruh rakyat atau komponen bangsa karena
Pancasila adalah milik kita bersama sekaligus dasar negara NKRI yang harus
dipahami, untuk selanjutnya dilaksanakan secara konsisten dalam hidup berbangsa
dan bernegara oleh setiap warga negara tanpa kecuali. Di samping itu,
diperlukan metode yang tepat untuk mengimplementasikan nilai- nilai Pancasila
yang lebih cocok dengan situasi saat ini melalui konsep-konsep untuk dikaji secara
konseptual guna memecahkan permasalahan terhadap fenomena yang muncul yang
disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendekatan humanis perlu lebih dikedepankan, kebebasan menyatakan
pendapat perlu ditambahkan dan tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinatif.
7.
Pemerintah juga akan terus memelihara arus informasi kepada masyarakat secara
transparan, melindungi kebebasan berekspresi secara optimal. Pemerintah juga akan
terus mengembangkan potensi media center bagi
pemerataan
dan aksesibilitas perolehan informasi kepada seluruh anggota masyarakat, agar
setiap anggota masyarakat tetap mampu menjaga dirinya dari setiap provokasi
politik yang berbahaya bagi persatuan bangsa dan memelihara harmonisasi kehidupan
sosial di wilayah tertentu.
8.
Hal-hal berikut ini tetap perlu menjadi pedoman Pemerintah: pertama, tindakan
kekerasan dan teror akan langsung mendapat penindakan yang tegas sesuai dengan
hukum yang berlaku; kedua, Pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan dan
ancaman dari pihak mana pun dari dalam dan luar negeri untuk menjalankan tugasnya
sebagai penyelenggara negara sesuai dengan konstitusi; ketiga, sebagai negara
yang berideologi Pancasila, Pemerintah berkewajiban melindungi segenap warga
negara tanpa melihat latar belakang agama, kelompok politik, ataupun kesukuan.
9.
Dalam rangka mencegah kerawanan sosial, sejak tahun 2006 Pemerintah sudah
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
34 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah.
Upaya Lain yang dilakukan adalah memantapkan peran Pemerintah sebagai
fasilitator dan mediator yang adil dalam menjaga dan memelihara kesatuan,
perdamaian, dan harmoni dalam masyarakat. Sebelumnya, dalam membina kerukunan
umat beragama, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadah.
10.
Pemerintah juga terus melakukan pembinaan ideologi dan pengawasan pembangunan
dengan melaksanakan kegiatan utama berupa Sosialisasi Wawasan Kebangsaan dan
Cinta Tanah Air yang bekerja sama dengan ormas,
LSM, dan lembaga nirlaba lainnya. Tujuannya
adalah mengembangkan dan memperkuat wawasan kebangsaan masyarakat dengan mengoptimalkan
peran serta ormas, LSM, dan lembaga nirlaba lainnya. Sejak tahun 2005 sampai
dengan tahun 2007 telah dilaksanakan kerja sama program wawasan kebangsaan dan
cinta tanah air dengan 467 ormas, 180 ormas, dan 205 ormas masing-masing untuk
tahun 2005, 2006 dan 2007. Upaya kemitraan dan kerja sama dengan ormas akan
terus dilaksanakan dan ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang untuk membangun
pemahaman dan komitmen kebangsaan yang semakin baik.
2.4
Kondisi Masyarakat Aceh Pasca Konflik
Dari berbagai konflik dengan
klasifikasinya ada beberapa masalah pascakonflik yang dapat diidentifikasi,
baik dari segi ekonomi, hukum, politik dansosial budaya, di antaranya:
1. Hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta serta mata pencaharian penduduk di daerah konflik
yang menimbulkan beban
berat bagi pemerintah pusat.
2.
Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya pengungsian massal guna menghindari korban
konflik.
3. Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat,
karena dalam prosesnya diwarnai politik kekerasan dari penguasa, elit politik
dan masyarakat.
4. Terjadinya
perilaku politik yang
bersifat egosentris dan komunal
dikalangan elit lokal menciptakan ketidakharmonisan berbagai element masyarakat.
5. Terjadinya
intervensi ’asing’ secara
sistematis di kawasan
konflik, untuk menggoyahkan
eksisitensi ideologi dan
kedaulatan wilayah negara.
6. Timbulnya
rasa takut, curiga
berkepanjangan, menguatnya komunalisme,
kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat.
7.
Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi
sebagai perekat.
8. Trauma Psikologis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik
di Aceh adalah bukti penuntutan ketidak adilan pemerintah yang menindas hak
rakyatnya dan penyelesaian konflik dilakukan yang tidak bermoral, sehingga
muncul kesedihan, dan trauma dimasyarakat sampai saat ini, apalagi ketika
mengenang kisah-kisah yang lalu, Aceh bersimbah darah.
3.2
Saran
Menyimak
begitu panjangnya rentetan konflik di tanah Serambi Mekkah tersebut dan melihat
begitu banyaknya korban berjatuhan, tentu saja kita berharap penandatanganan
nota kesepahaman antara pemerintah dan pihak GAM di Helinski, Finlandia
merupakan keputusan dan kesepakatan terakhir untuk mewujudkan Aceh yang lebih
baik di masa-masa mendatang. Dan harapan kesedihan, trauma para korban bisa
sembuh seperti semula.
DAFTAR PUSTAKA
Grunady. 2007. Mengunggkap Kekerasan Aceh. Seuramoe Press. Lhokseumawe.
Nasikun. 1989. Sistem
Sosial Indonesia. Penerbit CV Rajawali. Jakarta
Ranjabar, Jacobus.
2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit Ghalia
Indonesia. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar