Rabu, 27 Maret 2013

Islam dan Gagasan Universal


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
          Seperti yang telah kita ketahui bahwa fenomena kehidupan saat ini sangat menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya sepertu dunia dalam rumah, semua tidak mengenal jarak dan waktu. Apayang terjadi dibelahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk belahan barat. Di dunia ini tidak ada lagi tersimpan, semuanya sudah transparan. Fenomenan tersebut dikenal dengan fenomena gelobalisasi. Arti globalisasi adalah menyebarluaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan.
         
          Globalisasi mempunyai nilai positif dan nilai negatif. Kita sebagai umat islam harus bisa membedakan nilai-nilai tersebut agar tidak terjebak dalam jaringan-jaringan neginomi barat. Orang-orang barat sangat banyak menggunakan istilah-istilah untuk menuduh setiap fenomena kebangkitan islam, diantaranya fundalisme dan radikalisme.

          Sebagai umat islam kita bersifat terbuka kepada barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk menilai sifat itu adalah : (1). kita adalah pemilik risalah islamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kita suci kita berbahasa Arab. Rasul kita seorang Arab, dan islam tumbuh di dunia Timur (Arab), tetapi ini bukan berarti bahwa islam di tujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi.

          Beberapa tahun sebelumnya, istilah globalisasi sudah menggema di seluruh dinia. Kala itu seakan menjadi buah bibir setiap insan yang berfikir dan membayangkan terwujudnya kehidupan global di era sekarang ini. Kemajuan saints dan teknologi mencapai perkembangan yang sangat pesar termasuk di negara kita indonesia. Kini pembangunan di negara kita telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, terlebih sejak begulirnya era reformasi hingga saat sekarang ini.
          Keadaan ini tidak lain adalah disebabkan karena minimnya sumber daya manusia (SDM) dari umat islam. Sesungguhnya kita sebagai umat islam memiliki kekayaan sumber daya manusia cukup, tetapi di lain pihak kita masih miskin dengan sumber daya manusia, bahkan sampai saat ini kita belum memiliki tenaga – tenaga yang profesional.

1.2  Rumusan Masalah
          Dari penjelasan latar belakang, maka dapat dirumuskan pada konsep makalah ini adalah:
a.  Bagaimanakah islam di era globalisasi?
b. Bagaimana dampak globalisasi terhadap umat islam?
c.  Bagaimana sikap umat islam dalam menghadapi tantangan globalisasi?

















BAB II
ISI

2.1  Islam dan Globalisasi
          Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah beradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Didalamnya ada aspek duniawi dan ukhrawi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan itegral. Universal atau globalisasi islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya. Hal ini di jelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an. “ Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam” (QS. At-Takwir : 27). Semenjak abad ke-7, Nabi Muhammad SAW, sudah menerapkan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya ketika beliau mengirim utusan membawa surat-surat beliau kepada para Raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan pemimpin itu adalah raja Romawi dan kisra persia.
          Dengan demikian ketika wafat maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara tataran konseptual dan tataran aktual dan ini merupakan salah satu keistimewaan Islam.
          Globalisasi islam adalah proses mengglobalisasikan nilai-nilai universal seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Islam sebagai agama samawi yang turun dari Allah SWT dan bukan merupakan buah pikiran manusia semata, dengan demikian aturan-aturan islam terperinci dengan jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, agama islam semakin berkembang seluruh penjuru dunia dengan cara perdagangan, perkawinan dan lain-lain.
          Mellihat strategi yang dirancang Barat dalam isu globalisasi sunggu amat busuk. Mereka mempunyai agenda terselubung dalam mengikis habis ajaran islam yang di anut bangsa timur. Penyebaran itu mereka lakukan melalui penyebaran informaso dengan sistem teknologi modern yang dapat mengirim informasi keseluruh penjuru dunia.
         
          Melalui jalur ini mereka menguasi publik opini yang tidak jarang berisikan serangan, hinaan, pelecehan dan hujatan terhadapa islam dan mengesankan agama islam sebagai teroris. Perang yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata namun juga perang agama. Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian islam lewat ideologi sekuler, politik, ekonomo, sosial budaya, teknologi, komunikasi, keamanan dan sebagainya. Secara perlahan-lahan tapi pasti mereka menggerogoti islam dari dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan islam dari muka bumi.
          Di Indonesia, globalisasi dan liberalisasi makin jauh masuk utamanya melalui LOI (letter of intent) tahun 1998 yang di tandatangani bersama oleh Soehart, presiden Indonesia ketika itu, dan Camdessus, mewakili IMF menyusul krisis moneter yang melanda indonesia. Beberapa butir penting itu kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BMM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama dengan liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli pertamina mulai tahun 2005, penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusaahan asing di dalam bisnis migas di indonesia. Artinya, melalui IMF dan pada kompradornya didalam negeri indonesia, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Apa yang akan kita katakan bila itu bukan merupakan penjajahan atau imperialisme ekonomi?
          Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agam. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah padangan yang terdiri dari berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agam dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam peroses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh didalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agam dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama didalam merespin berbagai persoalan kemasyarakatan.[1]

2.2 Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam
          Sebagai mana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidak teknologi komukasi, transportasi, dan informasi yang demikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saau itu juga, sementara jarak tembuh yang sedemikian jauh dapat dijangakau dalam waktu yang singkat sehungga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa di capai dalam waktu yang amat singkat.[2]
          Dengan ada nya globalisasi ini telah menimbulkan banyak sekali akibat yang sangat buruk dan tidak akan mungkin dapat dilupakan oleh sejarah umat manusia. Mulai dari penghisapan kekayaan dan negara-negara terjajah secara semen-mena hingga tewasnya jutaan manusia yang tidak berdosa akibat ulah negara-negara kapitalis penjajah biadap, termasuk tragedi kemanusiaan  yang terjadi di Irak saat ini akibat invasi brutal Amerika serikat pada bulan maret 2003.[3]
          Pembangunan di negara kita juga telah mencapai kemajuan yang demikian pesat terutama sejak bergulirnya era reformasi hingga saat ini, karena seiring dengan itu marilah kita umat islam secara bersama-sama ikut ambil bagian denga secara aktid, terutama dalam pembangungna mental spritual, agar umat islam tidak sekedar maju dalam segi fisik saja, namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang rusak.
          Dalam abad teknologi modern sekarang ini, manusia telah diruntuh kan eksistensinya sampai ketingkat mesin akibat pengaruh globalisasi. Roh dan kemanusiaan manusia telah diremehkan begitu rendah. Manusia adalah mesin yang dikendalikan oleh kepentingan finansial untuk menuruti arus hidup yang materialistis dan sekuler. Globalisasi adalah merupakan gerakan yang telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara Barat sekuluer untuk secara sadar atau tidak akan menggiring kita pada kehancuran peradaban.
          Sebagaimana telah kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui media cetak dan elektronik, mulai dari prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang dipraktikan oleh orang-orang Barat akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan. Apa yang mereka suguhkan sangat berpengaruh terhadap pola pikir umat Islam.
          Tidak sedikit dari orang-orang Islam yang secara perlahan-lahan menjadi lupa akan tujuan hidupnya, yang senantiasa untuk ibadag, berbalik menjadi malas ibadah dan lupa akan tuhan yang telah memberikannya kehidupan. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia khususnya umat islam yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukan sekedar ada, namun ada tujuan mulia yaitu beribadah kepada Allah SWT. Di zaman sekarang ini, tidak sedikit dari umat islam yang lemah iman, karena telah salah dalam menyingkapi isu globalisasi, mereka seakan-akan kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama di agaung-agungkan. Sehingga di dalam bayangan mereka, globalosaso adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari modernisasi, pada hal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan mejerumuskan umat Islam. Nasib Islam modern atau globalisasi ini sangat ditentikan oleh sejauh mana kemampuan umat islam merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah terjadi di era ini (Globalisasi).[4]
          Umat manusia telah terbentuk sebgaimana produk industru itu sendiri tidak ada ke unikan, yang ada hanyalah kekacauan yang seragam sehingga secara sadar atau tidak sadar manusia berangsur-angsur kehilangan asas kemerdekaannya, padahal itulah yang dijadikan tumpuan bagi ilmu pengetahuna dan teknologi.[5]
          Dengan adanya globalisasi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan umat islam. Dampak positif misalnya makin mudahnya memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapai. Misalnya, melalui internet kita dapat mengakses informasi-informasi yang dibutuhkan di bidang ekonomi, perdagangan bebas antara negara berarti makin terbukannya pasar dunia bagi produk-produk, baik berupa barang atau jasa.
          Dalam kaitan dengan umat islam di Indonesia, dampak negatif yang paling nyata adalah terbentuknya nilai-nilai asikng yang masuk lewat berbagai cara. Dengan nilai-nilai agama yang di anut oleh sebgian besar bangsa kita, mengingat agama Islam adalah agama yang berdasarkan hukum (syari’ah), maka pembenturan nilai itu akan sangat terasa di bidang syari’ah ini.
          Globalisasi informasi telah membuat umat kita mengetahui praktik hukum (terutama hukum keluarga) di negara lain, terutama di negara maju yang sebagian sama dan sebagian lg berbeda dari hukum islam.
2.3 Sikap Ummat Islam Dalam Mengahadapi Tantangan Globalisasi
          Mengahadapai era Globalosasi, sikap kaum muslim bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam yaitu ;
1.      Mengikuti secara mutlak, mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk di tiru. Sikap seperti ini lang menenggelamkan umat islam dari peredaran nya.
2.      Mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan ini lah yang diistilahkan oleh Prof. Dr Yusuf Qaedawi sebagai kelompok “penakut” mereka takut untuk berhahadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal ini di nilai tidak “Fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mareka menutup pintu rapa-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena bebu dan polusi peradaban sejatinya mereka membutuhkan udara.
3.      Golongan moderat (berada di tengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminann sikap ideal seorang muslim. Mereka sadara bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanya lah usaha yang sia-sia belaka dan tidak berguna. mereka meyakini bahwa islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman.
          Pertanyaan yang selanjutnya yang mengemukakan adalah tentang masa depan umat Islam, setidak nya ada dua prediksi yaitu ;
1.      Pesismistik, sikap ini muncul karena melaht realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang. Dimna untuk ukuran perkembanga saints dan teknologi umat islam bedara dalam posisi yang paling bawah. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya kesenjangan sosial, keterbelakangan HAM telah begitu memprihatinkan
2.      Optimisme, sikap ini didasari pada pengamatan sejara, dimana kita meengukir kejayaan dimasa lampau, dengan sikap ini, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian diantara manusia
          Sebagai umat Islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama islam,Ada beberapa alternatif :
1.      Mengembalikan keadaan umat islam yang selama ini “tertidur”
2.      Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
3.      Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban dan yang terpenting adalah merealisasikan nya dam kehidupan sehari-hari.

          Globalisasi bagi umat islam tidak perlu diributkan, di terima atau di tolak, namun yang paling penting dari semua adalah seberapa pesat peranan islam dalam menata semua umat manusia menuju tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradap. Bagi kita semua, ada atau tudak nya istilah globalisasi tidak menjadi masalah yang penting ajaran islam sudah benar-benar di terima secara global, secara manusiawi oleh segenap umat manusia, di terapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
          Sebagai umat islam hendaknya menilai modern jangan kita umur dari modernnya, pakaiannya, perhiasa dan penampilan namun modern bagi umat islam adalah modern dari segi pemikiran, tingkah laku, pergaulan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, politik dan ekonomi.

2.4 Berbagai Paradigma Islam Dalam Menghadapai Globalisasi            
          Pada mulanya agama-agama muncul dari unseur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang di dominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era ini kini telah mengalami perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori.
          Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekrang ada dalam umat islam. Persepktif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syari’ah dan akhlak. Dalam perkembangan nya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan dikalangan umatnya.[6]
Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat di kemukankan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang dikalangan umat islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :

1.    Paradigma Konservatif
          Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain islam. Unsur-unsur sosial seial islam dalam hal ini dianggap sebagai yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
          Demikian pula dengna bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya.aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk menjadikan acuan hukunnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Al-Quran dan hadist. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu di sempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis islam seperti di atas, menuurt Ali Syariati (1933-1977), islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan sesuatu semangat kolektif seuatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agam maka paradigma ini sering pula di sebut paradigma konservatif.
          Bagi orang-orang islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchaningness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikai manusia dan lingkungan nya. “ketidak berubahan” merupakan asumsi pengaruh yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.
         
          Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita berangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bengsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah di lakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentukan dan tidak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.[7]
          Corak berfikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti “jejak leluhur” menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi islam, kata yang lazin di pakai untuk hal baru adalah “bid’ah”. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai islam.
          Bentuk pemahaman konservatif ini dapat di lihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam pemahaman hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa islam bukanlah semata-mata agamaa dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya islam adalah satu agam yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu Agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh kerenanya dalam bernegara umat islam hendaknyak kembali kepada sistem ketatanegaraan islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2) sistem ketatanegaraan atau politik islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-khulafa al-Rasyidin.
          Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.

2.    Paradigma Liberal
          Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang berperan sebagai agen perubahann sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi suatu komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rassionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian begaimana menyakinkan umat secara dokteriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat di peroleh pada sumber-sumber eksternal.
          Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang mengabaikan tetstualialis dan latar belkang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir terhadapa al-Qur’an dan hadist. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.
          Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain islam merumuskan berbagai solusi terhadapa persoalan kekinian yang dihadapi umat.

3.    Paradigma Alternatif
          Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas.
          Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani ada nya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam islam, meski memang untuk megajawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang di tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan islam dan persoalan kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi di lakukan nya pembaharuan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
          Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian begaimana meyakinkan umat secara dokterinenr, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologis juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi soal yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela tuhan dan kaum loberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketahuhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan struktural dan kultural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab islam laa yang di mapankan oleh kalangan konservatif. Al-Qur’an dan Hadist memang harus ditafsirkan ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
          Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung kami istilahkan dengna paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengna konsep islam sebgai agama wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan islam dan negara paradigma. Moderat menolak pendapat bahwa islam adalah agama yg serba lengkat dan bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seprangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
          Paradigma ini tidak hanya menonjolkan isu seputar konsep “negara islam” dan “pemberlakuan syariat”, tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta, dan sayang harus menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan muslim.
          Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi mengglobal yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang di milikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat “ruang publik” yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.
          Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah berkembang di indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, “kesempurnaan” islam hanya lah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya, terutama ketika era globalisasi bergerak, islam belumlah cukup memeliki kosepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam yang di hadapi oleh umat islam saat ini.

2.5 Gerakan Fundamentalisme dan Radikalisme
          Fundamentalisme islam adalah fenomena baru dalam sejarah Agama Islam. Fundamentalisme Islam muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme dan hegemono Barat perlu diluruskan. Sebab kesimpulan semacam ini seakan memberikan angin segar bagi ketertindasan. Dan bangkitnya gerakan-gerkan radikal sebagai bentuk kelompok Islam lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan yang mereka alami. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah bentuk gerakan pembebasan, hal ini perlu dilakukan untuk menghilangkan kesan negatif yang merusak citra Islam itu sendiri.
          Maraknya Terorisme dan Radikalisme yang berasal dari Fundamentalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua umat manusia. Lalu dibuatlah sebuah teori, bahwa fundamentalisme Islam tidak ada hubungannya dengan Islam itu sendiri; Fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang muncul pada abad 19 atau 18, fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan yang lebih global saat ini.
          Jika kita melihat serangkaian aksi terror bomb yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, maka sepertinya target utama yang menjadi incaran sudah nampak jelas. Dari bom yang terjadi di Bali, Hotel JW Mariot, kedubes Australia, JW Mariot dan Ritz Carlton sampai merebaknya aksi terror di Aceh, menunjukkan sesuatu tadensi antuk menjatuhkan korban dari pihak asing serta menganggu konsep yang dimiliki oleh sekelompok fundamentalis yang kebanyakan menghendaki adanya sebuah Negara dengan sebuah konsep pemerintahan yang berdasarkan kepada kedaulatan Tuhan.
          Dari keagamaan yang berkembang pesat saat ini, kaum fundamentalis memang terkesan konservatif dan selalu dengan masa lampau, meskipun ide-ide mereka sebenarnya adalah sangat modern dan inovatif. Bila kita mengacu pada terjemahan harfi’ah dari “Fundamentalisme” kedalam bahasa Arab, maka artinya ushulliyyah, sebagai sebuah kata yang merujuk pada sumber-sumber sebagai aturan dan prinsip dalam hukum Islam.
          Jika kemudian kita mengaitkan kembali relasi antara agama dan terorisme, mungkin tidak juga seratus persen salah. Hal ini disebabkan masih adanya kelompok  fundamentalis yang sejatinya merupakan sekelompok religius yang masih cenderung melakukan pemberontakan.
          Gerakan Radikalisme mulai marak dan bertebaran di wilayah Indonesia. Yang menjadi inti dari pembahasan adalah faktor apa yang mendorong mereka bersemangant dalam “membela Tuhan”, yang kalau di teliti lebih dalam sebenarnya gerakan mereka belum tentu benar menurut perspektif masyarakat Islam mayoritas. Dan juga hal apa yang ingin menjadi tujuan dari gerakan mereka.
          Istilah Radikalisme berasal dari bahasa latin radix, yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bias juga secara menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Sedangkan secara terminologi Radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik, paham atau aliran yang menuntut perubahan social dan politik dalam suatu negara secara keras.
          Perkembangan Islam di Indonesia pasca disebarkan oleh para wali ke depan nya mengalami kemunduran dalam hal hidup berdampingan dengna penuh kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya proses Islamisasi secara damai itu karena kepiawaian para mubaligh-nya dalam memilih media dakwah, sepertu pendekatan secara sosial budaya, tata niaga (ekonomi), serta politik.
          Selain menggunakan media tradisi dan budaya, para pembawa panji Islam itu juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk mengembangkan nilai-nilai serta ajaran Islam. Namun seiring berjalannya waktu, dalam konteks ke Indonesia dakwah dan perkembangan islam mengalami kemunduran dan penuh dengan penodaan. Gejala kekerasan melalui gerakan Radikalisme mulai bermunculan. Terlebih setelah kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ketanah air telah mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi , gerakan yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintahan Arab Saudi.
          Kemudia dalam cacatan sejarah Radikalisme Islam semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga reformasi sejak kartosuwijoro memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Salam (DI). Sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan Agama, justifikasi Agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan Radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII. Sebagian direkrut kemudian di suruh melakukan berbagai aksi seperti komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung menfalitasi beberapa kelompok Radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militant, dan lebih vocal, di tambah lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih visible.
          Setelah DI, muncul komando Jihad ( KOMJI) pada tahun 1976 kemudian meledakan tempat ibadah. Pada tahun 1977, Front pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan terror oleh pola perjuangan revolusioner Islam 1978. Setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan beraroma radikal yang di pimpin oleh Azhari dan Nurdin M.Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebaran. Dalam konteks internasional, realistas pelitik standard ganda Amerika Serikat dan sekutunya merupakan pemicu perkembangan radikalisme Islam. Perkembangan ini semakin menguat setelah terjadi tragedi WTC pada 11 september 2001.
          Realitas politik domestik maupun Internasional yang demikian dirasa telah menyudutkan Islam. Dimana hal ini telah mendorong kalangan Islam fundamentalisme untuk beraksi keras dengan menampilakn diri sebagai gerakan radikal, yang diantaranya menampilkan simbol-simbol anti-AS dan sekutunya. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian muslim memberikan reaksi yang kurang proposional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifat nya anarkis, sikap sebagian muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia.
          Istilah Radikalisme sebenarnya bukan merupakan konsep yang asing. Secara umum ada kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang di tolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalisme berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Sesuai dengan kata radix, sikap radikal menandai keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga, menguatkan keyakinan kaum radikalisme akan kebenaran program atau ideologi yang membawa mereka.
          Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan di iringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Fundamentalisme secara serampangan di pahami bagian substansi ajaran islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami islam merupakan aktifitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme islam. Tarikan politik dan sosial telah menciptakan kekerasan atau radikalisme. Radikalisme lahir dari persaingan sosial dan politik.
          Masalah radikalisme islam telah makin membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Gerakan fundamentalisme yang muncul sebagian besar adalah berangkat dari ketidakpuasan dan adanya keinginan untuk menjadikan atau menerapkan syariat islam di indonesia. Terjadinya ketidakadilan, banyaknya korupsi, krisis yang berkepanjangan dan ketidak harmonisan antara kaya dan miskin.
          Banyaknya gerakan-gerakan Radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul karena ada nya beberapa faktor :
·    Variabel norma dan ajaran
·    Variabel sikap atau pengalaman mengenai tiga isu penerapan syariat islam, bentuk negara islam Indonesia dan khalifah islamiyah
·    Variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapakan dengan kondisi sosial nyata dalam masyarakat



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan adanya Era Globalisasi ini kita umat islam terutama harus bisa menghadapai dan memperkuat iman dan takwa. Kita harus menghadapi perubahan zaman yang telah kita jalani sekarang ini. Zaman modern serba mesin yang mungkin memanjakan kita dalam setiap pekerjaan dan langkah kita.
   Menurut kami kita sebagai generasi umat islam tidak boleh lengah dalam menghadapi masalah modernisasi dan globalisasi, mari kita bentengi diri kita dengan keimanan dan ketakwaan serta akhlatul karimah yang di sertai dengan sumber daya yang kuat, terampil dan di dukung dengan semangaat persatuan dan kebersamaan. Insyaallah kita akan di beri kekuaatan dan kemenangan oleh Allah SWT dalam membela dan mempertahankan kejayaan agama yang suci.
Kita sadari bahwa globalisasi adalah tren sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak mempunyai kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali sejati diri.










DAFTAR PUSTAKA

Ak-Qardhawi, Yusuf islam dan Globalisasi dunia, 2001. Jakarta
http://faizmanshur.wordpress.com/2003/03/03/paradigma -islam-menghadapai-globalisasi.
Dadang, Kahmud, Sosiologi Agama, 2006, Bandung,  : PT. Remaja Rosadakarya
http:// baradikal.Multiply.com/journal/item/3
Effendi, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.
Nasution, Harun, Islam di tinjau dari berbagai Aspek  Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet V,1985
Watt, William Montogomory. Fundamentalist dan Modernitas dalam islam, terj. Dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet I, 2003


[1] Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan tantangan Globalisasi : mempertimbangkan konsep Deprivatisasi Agama, makalah tidak di terbitkan,hal 5

[2] Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, jakarta :pustaka Al-Kautsar, hal.21-23
[3] Suparman dan Sobirin Malian, ide-ide besar sejarah intelektual Amerika, Yogyakarta : UII Press, 2003,hal X.
[4] Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT. Remaja Rosadakarya, hal.304
[5] Ibid, hal. 96
[6] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet V, 1985, hal. 11-14
[7] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. Dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka setia, Cet.1,2003, hal, 11-15

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
    Find a Casino & Spa in Atlantic City, NJ. See 14 대구광역 출장안마 photos 제주 출장마사지 and 1 tip from 938 visitors about 정읍 출장샵 buffet, buffet and poker. Rating: 밀양 출장안마 2.5 · ‎1,811 하남 출장샵 votes

    BalasHapus